Krjogja.com - YOGYA - Di tengah banyaknya peristiwa kesenjangan gender di Indonesia, penelitian terbaru dari Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora Universitas Negeri Yogyakarta (PKM-RSH UNY) justru menemukan bahwa nilai-nilai kesetaraan gender sejatinya telah lama hidup dalam masyarakat lokal, salah satunya komunitas Sedulur Sikep atau Samin di Blora, Jawa Tengah.
Hasil penelitian ini mengungkap bahwa ajaran dasar masyarakat Sedulur Sikep, yaitu konsep “sikep” dan “sami-sami” menggambarkan nilai keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Konsep ini telah ditanamkan jauh sebelum istilah kesetaraan gender dikenal oleh masyarakat luas.
“Dalam pandangan hidup Sedulur Sikep, semua unsur kehidupan itu memiliki posisi setara dan saling melengkapi. Tidak ada yang lebih tinggi atau rendah, termasuk laki-laki dan perempuan,” ujar Sabta Yoga selaku Ketua Tim PKM-RSH UNY 2025 yang telah melakukan riset lapangan selama dua minggu di Dusun Karangpace, Blora.
Baca Juga: 15 Ucapan Hari Pangan Sedunia 2025, Bisa Dibagikan ke Media Sosial
Temuan ini muncul didukung dengan adanya data Global Gender Gap Report 2025 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-97 dari 148 negara dalam hal kesetaraan gender. Kondisi ini menunjukkan masih kuatnya budaya patriarki yang membatasi peran perempuan dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Menurut peneliti, prinsip kesetaraan dalam budaya lokal, seperti dalam komunitas Sedulur Sikep dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), untuk merumuskan kebijakan yang lebih menekankan konteks dan berbasis budaya lokal.
“Pendekatan berbasis kearifan lokal membuat masyarakat merasa lebih memiliki nilai yang perlu dijaga bersama, bukan hanya sekadar menjalankan kebijakan dari atas,” tambahnya.
Penelitian ini juga menegaskan bahwa perempuan di komunitas Sedulur Sikep memiliki peran sentral dalam menjaga tradisi dan nilai-nilai spiritual komunitas. Hal ini menjadi bukti bahwa sistem sosial masyarakat lokal dapat menjadi model kesetaraan yang lebih organik dan berkelanjutan.
Dengan demikian, riset ini tidak hanya membuka wawasan tentang peran perempuan di komunitas adat, tetapi juga memberikan pelajaran penting bahwa solusi terhadap ketimpangan gender bisa tumbuh dari akar budaya sendiri, bukan semata dari kebijakan modern.