Krjogja.com - YOGYA - Indonesia kembali menegaskan komitmennya terhadap aksi iklim global dalam pertemuan Conference of Parties ke-30 (COP30) di Belem, Brasil. Pemerintah menyatakan siap mempercepat transisi energi dan mencapai target emisi nol bersih pada 2060 atau lebih cepat.
Namun, berbagai elemen masyarakat sipil menilai langkah yang ditempuh Indonesia masih jauh dari prinsip keadilan iklim yang inklusif. Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Perubahan Iklim, Hashim Djojohadikusumo, yang juga Ketua Delegasi RI di COP30, menyampaikan bahwa dukungan Indonesia terhadap Perjanjian Paris telah tercermin dalam Second Nationally Determined Contribution (SNDC).
Dalam dokumen tersebut, Indonesia menargetkan emisi 1,2 gigaton CO₂ untuk skenario rendah dan 1,5 gigaton untuk skenario tinggi pada 2035. "Aksi iklim harus adil, inklusif, dan berpusat pada manusia,” tegas Hashim dalam pidatonya di Leader Summit.
Ia menambahkan, salah satu bukti komitmen nyata pemerintah adalah rencana alokasi 1,4 juta hektare hutan adat bagi masyarakat adat dan lokal dalam empat tahun mendatang. Meski demikian, pernyataan pemerintah tersebut dipandang belum menyentuh akar persoalan.
Masagus Achmad Fathan Mubina, GIS Analyst Trend Asia, menilai keberpihakan pemerintah masih bias kepentingan ekonomi ekstraktif. Fathan juga menyoroti proyek bioenergi yang dinilai kerap dijalankan tanpa prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), sehingga berpotensi mengancam ruang hidup masyarakat adat.
"Selama komoditas seperti fosil dan nikel tidak dikeluarkan dari skema transisi energi berkeadilan, komitmen aksi iklim hanya sebatas ucapan," ungkapnya dikutip, Senin (17/11/2025).
Dari Papua, Rosi Yow dari Greenpeace Indonesia juga mengkritisi ketidakkonsistenan pemerintah. Menurutnya, target transisi energi yang dikampanyekan tidak sejalan dengan masuknya perusahaan ekstraktif sebagai sponsor Paviliun Indonesia di COP30.
"Industrinya mengambil keuntungan dari eksploitasi mineral dan deforestasi, tetapi justru diberi panggung di perhelatan ini," ujarnya.
Rosi berharap COP30 menghasilkan keputusan yang memastikan keterlibatan masyarakat adat dalam setiap proses kebijakan iklim. "Selama ini mereka bahkan tidak mengetahui apa sebenarnya rencana pemerintah," katanya.
Kritik juga datang dari Fadilla Miftahul dari Climate Rangers, yang melihat negosiasi Indonesia di COP30 masih terlalu konservatif dan belum mencerminkan urgensi krisis iklim. Ia menyayangkan minimnya ruang partisipasi bagi generasi muda dalam proses negosiasi.
"Pembahasan masih berkutat di perdagangan karbon yang hanya memindahkan emisi, bukan menguranginya," tegasnya.
Di sela agenda COP30, Fadilla menyerahkan dokumen kesepakatan ribuan anak muda dari lebih 150 negara, yang mendesak transisi energi berkeadilan, pendanaan iklim tanpa utang dan keterlibatan bermakna bagi kelompok muda dan masyarakat rentan. Climate Rangers menjadi satu-satunya organisasi dari Indonesia yang memastikan aspirasi anak muda masuk dalam National Children and Youth Statement (NYS).
"Dokumen ini adalah penolakan kami sebagai generasi yang mewarisi krisis," pungkas Fadilla. (Fxh)
Berbagai elemen masyarakat sipil menilai langkah yang ditempuh Indonesia masih jauh dari prinsip keadilan iklim yang inklusif