Di sisi lain, dunia masih menghadapi lima dinamika utama, risiko utang negara (sovereign debt risk), potensi asset bubble akibat valuasi pasar yang terlalu tinggi, perang dagang yang terus membayangi, pertumbuhan yang terfragmentasi, serta perubahan lanskap perdagangan akibat AI-driven productivity.
“Di tahun 2026, risiko utang dan asset bubble membuat investor lebih selektif, sementara AI perlahan mengubah struktur perdagangan dunia,” jelas Banjaran.
Sementara untuk tren inflasi global yang menurun, tim ekonom BSI memproyeksikan The Fed akan memangkas suku bunga acuan sekitar 50 bps sepanjang 2026 ke kisaran 3,25-3,50 persen, diikuti penurunan imbal hasil obligasi AS.
Baca Juga: Benarkah Mengonsumsi Alkohol dapat Menyehatkan Jantung? Begini Penjelasan Dokter dari Inggris
Normalisasi ini membuka ruang bagi rotasi aset ke emerging markets termasuk Indonesia, di tengah kekhawatiran valuasi pasar yang terlalu mahal di negara maju.
Di sisi komoditas, Banjaran menjelaskan bahwa emas tetap menjadi salah satu aset lindung nilai favorit. Data World Gold Council yang diolah tim ekonom BSI menunjukkan, bank sentral dunia kembali agresif menambah cadangan emas, sementara permintaan emas untuk investasi hingga kuartal III 2025 telah melampaui total tahun sebelumnya. Harga emas global pun masih bertahan di sekitar level tertinggi sepanjang masa.(Lmg)