Bandung (KR) — Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan perlunya perumusan yang komprehensif sebelum Direktorat Jenderal Pesantren resmi berjalan sebagai satuan kerja Eselon I di Kementerian Agama. Ia menekankan bahwa fondasi konseptual lembaga baru ini harus dibangun melalui kajian ontologis tiga arus besar pendidikan: sekuler, pendidikan Islam, dan pendidikan pesantren.
Dalam pidato kuncinya pada Halaqah Penguatan Kelembagaan Ditjen Pesantren di Kampus II UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jumat (21/11/2025), Menag menyebut Ditjen Pesantren sebagai “cek kosong” yang memerlukan pengisian matang agar tidak melahirkan kebijakan prematur. “Road map pesantren dan pendidikan Islam harus jelas. Jangan sampai jalannya sama, tetapi memakai nama berbeda,” tegasnya.
Ia berharap forum halaqah ini melahirkan gagasan yang solid untuk menentukan arah masa depan pesantren, sekaligus mengintegrasikan keragaman pandangan yang saat ini berkembang dalam dunia pendidikan.
Baca Juga: Defisit APBN Hingga Oktober 2025 Mencapai Rp 479,7 Triliun
Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Rosihon Anwar, menambahkan bahwa kampus terus menguatkan ekosistem pesantren melalui berbagai program, termasuk Ma’had Al-Jamiah. Ia berharap halaqah menjadi ruang konsolidasi nasional untuk menenun masa depan pesantren sekaligus menjaga ketahanan tradisi keilmuan di tengah dinamika zaman.
Selain membuka halaqah, Menag juga meluncurkan SANTRI—Sentra Analisis dan Riset Pesantren Indonesia—sebagai pusat kajian strategis untuk memperkuat riset dan pemikiran seputar pendidikan pesantren.
Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam, Arskal Salim, menambahkan bahwa halaqah ini menjadi ruang terbuka bagi para kyai, ajengan, pengelola pesantren, alumni pesantren, akademisi, dan pemerintah untuk menyampaikan pandangan dan masukan berharga.
Baca Juga: Veda dan Ramadhipa Siap Tutup Musim 2025 dengan Hasil Gemilang di Valencia
“Halaqah ini memberikan ruang bagi kita semua untuk memberikan masukan-masukan yang berharga bagi kemajuan pesantren. Sehingga menghadirkan gagasan yang lebih konkret dan inovatif tentang bagaimana membentuk arah penguatan pesantren,” ujarnya
Fondasi Keilmuan Pesantren Masa Depan
Halaqah menghadirkan tokoh-tokoh nasional, salah satunya mantan Ketua PBNU, Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj, M.A., yang menegaskan bahwa penguatan pesantren tidak boleh hanya berhenti pada aspek administratif, tetapi harus berdiri di atas bangunan epistemologi yang kokoh.
Menurutnya, pemahaman agama perlu berlandaskan tiga pendekatan klasik yang telah menjadi tradisi besar dalam keilmuan Islam yaitu *Bayan* (pendekatan tekstual berbasis wahyu dan hadis); *Burhan* (pendekatan rasional yang menguatkan teks melalui logika dan penalaran) dan *Irfan* (pendekatan spiritual yang memberikan kedalaman makna melalui pengalaman batin).
“Tiga epistemologi ini tidak boleh berjalan sendiri. Teks tanpa nalar tidak cukup, dan nalar tanpa kedalaman spiritual juga tidak memadai,” ujar Said Aqil.