“Semua bahan untuk pewarnaan maupun motif bisa didapatkan di hutan wilayah ini,” kata Aunul.Untuk pewarnaan, misalnya menggunakan kulit ulin, kulit akasia, kulit mahoni, serbuk alaban, kunyit, ketapang. Sementara untuk motif dari daun kenikir, daun jati, daun belimbing wuluh, dan banyak lagi yang tidak ada di tempat lain.
Untuk hasil dari kain 'saicoprint' ini memang belum berdampak besar secara ekonomi. Pemasaran sementara baru dilakukan lewat wisatawan yang datang. Selain itu juga secara online dengan bantuan Dinas Pariwisata Kabupaten Banjar. Untuk memasarkan langsung secara online belum bisa dilakukan karena wilayah ini belum terjangkau jaringan internet.
Baca Juga: Ini Pentingnya Menguasai Teknologi AI Bagi Pembangunan Ekonomi
Dampak lain yang didapat dari wisata, masyarakat bisa menyediakan makan untuk wisatawan, ojek sepeda motor, atau usaha 'homestay'. Dedi Hermansyah (30), salah satu warga yang bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari ojek. Berbekal sepeda motor berusia lebih dari 20 tahun, membawa penumpang dari dermaga di Belangian menuju destinasi wisata melewati jalan naik-turun dan berkelok-kelok sejauh beberapa kilometer, bisa didapatkan Rp. 40.000 untuk pergi dan pulang.
Tanpa merinci berapa penghasilan setiap minggunya, tapi cukup menambah penghasilan. Sehari-hari Dedi menyadap karet dari lahan yang dikelolanya seluas sekitar 3 hektare. Dari menyadap karet, untuk satu minggu bisa menjual satu pikul berisi 50 kilogram. Satu kilogram karet mentah dijual dengan harga Rp. 5.000.
Desa yang "Ditenggelamkan"
Banyak cerita dan daya tarik Desa Belangian yang masih jauh dari jangkauan dari Masyarakat wilayah lain. Salah satu jalan dengan menumpak kelotok dalam perjalanan hampir satu jam lamanya.
Belangian sendiri merupakan desa baru yang semula tidak ada. Berawal dari tahun 1965, ketika Desa Kalakan termasuk salah satu desa yang mesti "tenggelam" untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Riam Kanan. Tahun 1974 waduk yang diberi nama dari nama Sungai Riam Kanan, diresmikan Presiden Soeharto.
Warga Desa Kalakan pun pindah ke wilayah yang lebih tinggi yang diberi nama Liang Hantu. Wilayah ini pun ikut terdampak atau "tenggelam" pada 1970 sehingga tahun 1973 pindah ke wilayah lebih atas. Tahun 1973, warga pindah ke daerah lebih tinggi yang kemudian dimekarkan menjadi desa definitif bernama Kelep Belangian dan akhirnya menjadi Belangian.
Belangian merupakan gabungan dua kata. Masing-masing 'balai' yang artinya tempat dan 'ngian' yang berarti halus. (Effy Widjono Putro)