Krjogja.com - Kerap kali, ada rasa bosan yang hinggap pada diri kita. Bosan adalah rasa tidak suka yang, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, muncul ketika sesuatu sudah terlalu diulang-ulang atau terlalu sering.
Dengan bantuan teknologi, juga jaringan internet, kebosanan dengan mudah diusir. Akan tetapi, apakah boleh terus-terusan mengusir kebosanan?
Baca Juga: SIGAP Remaja UNSOED Cetak 50 Peer Educator Karang Taruna Teluk Siap Jadi Penjaga Anti-Kekerasan
Itu akan membawa ke pertanyaan yang lebih mendasar: jika kebosanan terus diusir, apakah tidak ada hal baik dari rasa bosan?
Kebosanan sesungguhnya terasa mengganggu. Ketika seseorang bosan, menurut dr. Arthur Brooks, bagian otak yang menjalankan fungsinya ketika istirahat terjaga. Bagian otak yang disebut default mode network ini akan memikirkan hal-hal yang terasa tidak nyaman.
"Ketika Anda tidak memikirkan apa-apa, ketika pikiran Anda mengembara, dan berpikir tentang, misalnya, pertanyaan besar tentang makna dalam hidup. Apa makna saya hidup?" ujar penulis dan profesor dari Harvard Business School tersebut.
Baca Juga: KONI Hasil Musorprov 2025 Harus Perkuat Pondasi Olahraga di Jateng
Sekalipun tidak nyaman, sesungguhnya bosan adalah hal yang baik. Ia dapat mencegah seseorang agar tidak terjebak dalam lubang depresi. Jika kebosanan tidak dibiasakan, ditambah dengan terus menerus digusah dengan menggunakan smartphone, gangguan mental seperti depresi dan kecemasan akan jadi bayarannya.
Kebosanan jelas bukan hal yang buruk dan dia tidak bisa terus menerus diusir. Kalau begitu, bagaimana caranya agar bisa bosan?
Secara praktis, ada tiga cara yang diberikan Brooks agar kita bisa merasa bosan.
Yang pertama adalah tidak menggunakan smartphone di waktu-waktu tertentu seperti saat akan tidur.
Yang kedua adalah tidak menggunakan handphone saat makan bersama keluarga.
Yang ketiga adalah berpuasa secara rutin dari media sosial.
Sebagai tambahan, hidup akan berubah ketika sudah terbiasa untuk bosan sepanjang 15 menit atau lebih.