Secara diksi dan gaya bahasa, Merapi pembaca dapat mengatakan bahwa buku ini telah berupaya menginjeksikan terma-terma anyar kedalam khazanah kesusastraan nasional.
Kata-kata serapan dari bahasa daerah (Jawa) tampil mempernak-pernikkan wajah puisi sehingga lebih ayu.
Meski begitu, diksi-diksi jamak yang sering nongol di banyak puisi memang masih begitu kentara. Sebuah indikasi bahwa penulisnya memang lagi di tahap belajar.
Kehadiran “Merapi” dalam jagad buku sastra tanah air membawa warna tersendiri, terutama dalam memberi “spasi” antara karya-karya sastrawan gede.
Dengan berbagai perbaikan yang masih bisa diupayakan, “Merapi” cocok untuk jadi bacaan generasi 20-an, terutama yang getol menyangsikan eksistensi dan jati diri.
Sebagaimana sinopsis buku tersebut, “Kata-kata tetap bernyanyi meski tanpa melodi.” (*)