SEMARANG KRJOGJA.com - Dosen pengajar ilmu politik Undip, Dr Muhammad Adnan MA dalam Seminar Menyikapi Perbedaan Meredam Radikalisme Paham Keagamaan yang digelar Kesbangpol Provinsi Jawa Tengah bekerjasara dengan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Selasa (14/5/2019) di Kampus Tembalang memaparkan bahwa sikap-sikap merasa diri sendiri paling benar, paling pure ajarannya dan memandang pihak lain sangat salah, telah melahirkan perilaku intoleran dalam bentuk dakwah yang insinuatif.
Muhammad Adnan sebagai narasumber lebih jauh memaparkan bahwa, penafsiran atas sumber hukum Islam yang textonomy didukung dengan perasaan si penafsir yang 'pure' tetapi sebenarnya rigid dan mendorong dakwah yang insinuatif dan profokatif, justru memicu terjadinya konflik keagamaan yang bersifat psikis dan fisik.
"Konflik yang terjadi antara warga MTA dengan warga NU di tiga daerah, antara lain Purworejo, Blora dan Kudus pada tahun 2011 mencerminkan fenomena yang saya sebutkan tadi. Namun demikian mencari titik temu atas perbedaan pemahaman keagamaan sebenarnya tidak sulit dilakukan, Passwordnya adalah silaturahmi dan komunikasi diantara pihak-pihak yang berbeda, berseberangan dan berkonflik," papar Muhammad Adnan.
Atas jalinan silaturahmi dan komunikasi yang baik, pada kasus dengan MTA tersebut berangsung mulai surut setelah pada tahun 2018 MTA mulai menurunkan tensi pembahasan kajian keagamaan yang insinuatif.
"Yang sulit untuk dicari titik temunya dalam hal konflik pemahaman keagamaan apabila perbedaan paham keagamaan itu kemudian berhimpit dengan perbedaan pilihan politik, atau kepentingan-kepentingan politik yang lebih luas. Perbedaan paham keagamaan itu sumbernya adalah perbedaan pendapat, sedangkan perbedaan politik itu sumbernya adalah perbedaan pendapatan," ungkapnya lebih dalam.
Perbedaan politik, khususnya pilihan politik ketika mendapat bumbu perbedaan paham keagamaan, maka olahan masakan yang disajikan aromanya terasa sedap, padahal iyu adalah racun yang mendegradasi misi suci agama, yaitu Rahmatan lil'alamin.
Agama menurut Adnan sebagai sebuah nilai harus memperkuat politik sebagai sebuah alat. Politik sebagai instrumen tidak boleh lepas dari nilai-nilai agama. Bukan justifikasi agama untuk membenarkan kepentingan politik, atau politisasi agama untuk mendapatkan pembenaran.
Peraih master dari Hiroshima University Jepang ini memaparkan problem yang sedang dihadapi Indonesia saat ini adalah seperti dipaparkan. Hubungan antara agama dengan negara, agama dengan politik tampaknya belum tuntas, atau setidaknya menguak kembali ke permukaan jagad politik Indonesia. "Ada pararelitas keyakinan terhadap paham keagamaan Islam tertentu dengan paham politik yang dianut, tetapi ini memerlukan penelitian lebih lanjut," papar Adnan, mantan Ketua PW NU Jawa tengah ini.