KRJogja.com - SEMARANG - Kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan kampus Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang, menimpa salah satu taruna, MG, pada 2 November 2022, hingga kini masih dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Semarang.
Dalam persidangannya. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Noor Hayati, pada Kamis 12 September 2024, menuntut enam terdakwa pelaku dengan tuntutan masing-masing satu tahun penjara.
Orang tua korban, Yokavien, Senin (16/9/2024) menyatakan kecewa atas tuntutan jaksa. Tuntutan tersebut dinilai tidak mencerminkan keadilan, karena terlalu ringan, tidak sebanding dengan efek kekerasan yang menimpa anaknya. Efek tersebut antara lain organ tubuh MG kini menjadi tidak normal dan mengalami trauma yang luar biasa.
Yokavien berharap terhadap kasus kekerasan ini, Majelis Hakim menjatuhkan vonis yang setimpal dilandasi rasa keadilan. “Saya berkeyakinan Majelis Hakim dengan nuraninya bakal menjatuhkan vonis yang setimpal,” tandasnya.
Dia menjelaskan, pada sidang yang digelar Kamis, (5/9/2024), JPU Noor Hayati dari Kejaksaan Negeri Semarang menyatakan enam terdakwa yang merupakan taruna senior PIP Semarang, bersalah melakukan tindak pidana kekerasan sebagaimana dalam dakwaan Pasal 351 Ayat (1) jo 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP dan menuntut dengan hukuman satu tahun penjara.
“Tuntutan yang diajukan JPU terlalu rendah, dibandingkan dengan dampak yang timbul akibat kekerasan oleh para terdakwa kepada anak kami,” kata Yokavien.
Sebagai orangtua korban, dia berharap dengan proses persidangan yang berlangsung di PN Semarang, dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, terutama kepada lembaga pendidikan, agar menghentikan praktik kekerasan terhadap para taruna. “Cukup anak saya menjadi korban terakhir,” harapnya.
Dalam persidangan terungkap, telah terjadi kekerasan/pengeroyokan yang dilakukan enam terdakwa terhadap MG pada 2 November tahun 2022 di dalam lingkungan kampus PIP Semarang.
Akibat pengeroyokan itu, MG mengalami sakit, bagian tubuh mengalami memar, termasuk pada bagian ulu hati dan kencing darah. Tak hanya itu, pendidikan MG akhirnya terkatung-katung selama dua tahun.
MG juga harus merelakan hilangnya kesempatan menjadi Calon Aparatur Sipil Negara yang telah diraihnya melalui tes selama 6 bulan untuk masuk melalui jalur pola pembibitan pemerintah/Calon ASN di sekolah kedinasan tersebut.
Bahkan, janji bahwa MG akan diberi jaminan keamanan, dan pindah ke STIP Jakarta agar lebih mudah dipantau oleh orangtua dan oleh lembaga yang menaungi sekolah-sekolah tersebut, ternyata diingkari.
“Yang terjadi sebaliknya, anak kami justru dibully berhari-hari oleh beberapa oknum di lingkungan PIP Semarang, hingga mengalami kekerasan ke empat kalinya di bulan Mei-Juni 2023,” ungkap Yoka.
Kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang Ridlo Rinaldo juga mengaku sangat kecewa dengan tuntutan JPU. “Seharusnya, JPU menggunakan kewenangannya untuk menuntut secara maksimal para terdakwa,” tegas Ridho. (Isi)