semarang

Pejuang Semarang Prihatin, Generasi Muda Belum Warisi Nilai Juang

Senin, 15 Oktober 2018 | 20:11 WIB

PEJUANG Pertempuran 5 Hari Semarang, di bulan Oktober ini selalu terngiang betapa pedihnya penderitaan menghadapi penjajahan Jepang. Meski dijajah lebih-kurang 3,5 tahun, namun rasanya berabad-abad karena hidup selalu dalam tekanan yang tak manusiawi. 

"Siapa pun yang membangkan dan berani melawan jepang, saat itu pasti tak akan pernah lagi bisa berkumpul keluarga", tandas Sugiarno (88), mantan pejuang 1945, warga Semarang Barat.

Ada kisah yang menyayat sewaktu pecah Pertempuran 5 Hari Semarang pada hari Minggu, 14 Oktober 1945. Waktu itu pasukan Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh menuju kampungnya di Poncol dan mencari pemuda untuk ditangkap. Saat itu usia Sugiarno baru 15 tahun. Jepang marah karena banyak pemuda yang melawan pasca kekalahan Jepang atas Sekutu. Para pemuda ingin Jepang menyerahkan senjata mereka untuk bekal mempertahankan kemerdekaan. 

Karena hanya senjata yang rusak diberikan, maka pemuda Semarang marah dan membabi buta melakukan pencegatan terhadap Jepang yang ditemui di mana saja. Mereka (pemuda) ada yang menelanjangi bahkan menyiksa Jepang untuk menumpahkan kekesalannya. Karena itu jepang marah dan turun dari Kidobutai.

Saat itu, Soegiarno nyaris jadi korban pembunuhan Jepang. Tentara Kidobutai yang menggedor pintu rumahnya, menemukan Soegiarno berada di kolong tempat tidur dan menyeretnya keluar. Samurai tentara Jepang pun sudah menempel di lehernya, namun ibunya berusaha menghalangi kekalapan tentara Jepang. Ibunya kemudian menunjukkan sehelai foto adik Soegiarno bernama Soegiariam yang kala itu berumur 6 tahun bersama seorang tentara Jepang berpangkat Mayor di Surabaya. 

Soegiariam memang diangkat sebagai anak oleh seorang perwira Jepang di Surabaya sejak berumur 5 tahun. Setelah tentara tersebut membaca huruf kanji yang ada di balik foto tersebut, akhirnya membatalkan niatnya untuk memenggal kepala Soegiarno. Selamatlah hidup Soegiarno dari kekejaman Jepang.

Saat itu, Soegiarno sedih menyaksikan kekejaman Jepang terhadap para pemuda. banyak pemuda yang dibunuh dengan cara disembelih dan jasadnya dibuang di sungai-sungai yang ada di Kota Semarang. Jepang sengaja memerahkan aliran sungai dengan darah pemuda Semarang sebagai bentuk teror.

Soegiarno hanya bisa menjaga ibunya dan berdiam di rumah. Diakuinya, teman-teman sebayanya kala itu sudah malang melintang ikut berjuang melawan Jepang di Semarang. baru setelah jepang dipulangkan ke negaranya setelah Sekutu datang dan adiknya Soegiariam kembali ke pangkuan ibunya, Soegiarno baru bergabung dengan Brigade 17 Tentara Pelajar berjuang melawan Belanda di Agresi II hingga Salatiga dan Yogyakarta.

Halaman:

Tags

Terkini

Libur Nataru, PLN Siagakan 315 SPKLU di Jateng-DIY

Jumat, 19 Desember 2025 | 23:10 WIB

FEB Unimus Gelar Entrepreneurship Expo and Competition

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:30 WIB

HISPPI PNF Jawa Tengah Resmi Dikukuhkan

Jumat, 12 Desember 2025 | 16:10 WIB

Kasus HIV/AIDS di Salatiga 1.055 Kasus

Kamis, 11 Desember 2025 | 10:05 WIB