Gempa Langka di Palu Bergerak Sangat Cepat, 14.760 km per jam

Photo Author
- Jumat, 8 Februari 2019 | 05:31 WIB

GEMPA bumi yang melanda Kota Palu dan sekitarnya pada September 2018 lalu adalah jenis gempa supershear yang langka, menurut sebuah studi kolaborasi laboratorium Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) yang baru dirilis awal pekan ini.

Supershear earthquake adalah gempa bumi yang penyebarannya pecah di sepanjang permukaan patahan dan terjadi pada kecepatan yang melebihi kecepatan gelombang geser seismik (gelombang-S). Gempa ini menyebabkan efek analog dengan ledakan sonik.

Gempa tipe itu hanya terjadi kurang dari 15 kali dalam sejarah.

Pergeseran lempeng gempa menyebabkan retakan yang tersebar, bergerak di sepanjang sesar dengan sangat cepat, menyebabkan gelombang naik-turun atau sisi-ke-sisi yang mengguncang tanah atau disebut gelombang geser seismik, hingga menumpuk dan meningkat. Hasilnya jauh lebih kuat daripada gempa yang lebih lambat, kata NASA dalam studi berjudul "Early and Persistent Supershear Rupture of the 2018 Magnitude 7,5 Palu Earthquake."

Peneliti di UCLA, Jet Propulsion Laboratory NASA (JPL) di Pasadena, California dan lembaga-lembaga lain, menganalisis pengamatan resolusi tinggi spasial dari gelombang seismik yang disebabkan oleh gempa dahsyat, bersama dengan radar satelit dan gambar optik, untuk mengkarakterisasi kecepatan, waktu dan tingkat magnitudo gempa Palu yang terjadi pada 28 September 2018.

Mereka menghitung bahwa gempa Palu pecah dengan kecepatan stabil 14.760 km/jam, dengan guncangan utama berlanjut selama hampir satu menit. Gempa bumi biasanya pecah sekitar 9.000 - 10.800 km/jam.

Saat memproses gambar satelit, para peneliti menemukan bahwa kedua sisi sesar sepanjang 150 kilometer tergelincir sekitar 5 meter --jumlah yang sangat besar.

"Pemahaman atas pergeseran sesar dalam gempa besar akan membantu meningkatkan model bahaya seismik dan membantu insinyur gempa merancang bangunan dan infrastruktur lainnya untuk lebih tahan terhadap kemungkinan goncangan gempa di masa depan," kata Eric Fielding dari JPL NASA, rekan penulis studi yang baru diterbitkan pada 5 Februari 2019 di jurnal Nature Geoscience, seperti dikutip dari jpl.nasa.gov, Kamis (7/2/2019).

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: danar

Tags

Rekomendasi

Terkini

Midea Luncurkan AC Celest Inverter Berteknologi AI

Selasa, 2 Desember 2025 | 19:22 WIB

Samsung Bespoke AI Wujudkan Hidup Sehat di Smart Home

Sabtu, 22 November 2025 | 09:00 WIB

Paparan Paham Radikalisme, Game Online Berbahaya?

Jumat, 21 November 2025 | 17:50 WIB
X