Hingga saat ini teror ransomware WannaCry telah menginfeksi 200.000 komputer di setidaknya 150 negara. Serangan tersebut telah melumpuhkan kegiatan sejumlah rumah sakit, pemerintahan, dan perusahaan.
Dugaan adanya hubungan teror tersebut ke Korea Utara datang saat para periset keamanan dan perusahaan teknologi, mengkritik Pemerintah AS karena telah menimbun senjata siber, termasuk perangkat lunak berbahaya yang digunakan pada WannaCry.
Perangkat lunak yang digunakan teror ransomware WannaCry, diyakini dikembangkan Badan Keamanan Nasional AS (NSA).
Alat yang dikenal dengan nama EternalBlue itu dicuri oleh kelompok peretas yang diketahui sebagai The Shadwow Brokers. Mereka membuat alat tersebut dapat diakses dengan cuma-cuma dan mengatakan bahwa itu merupakan bentuk protes terhadap Presiden AS Donald Trump.
Menurut Presiden Microsoft, Brad Smith, serangan tersebut merupakan contoh mengapa penimbunan kerentanan perangkat lunak oleh pemerintah merupakan sebuah masalah.
"Pemerintah harus menanggapi serangan ini sebagai sebuah peringatan," ujar Smith. "Kita membutuhkan pemerintah untuk mempertimbangkan kerusakan yang diderita masyarakat, yang berasal dari penimbunan kerentanan."
"Serangan itu sama seperti militer AS kehilangan misil Tomahawk (misil kendali jarak jauh) Amerika Serikat," imbuh Smith.