Krjogja.com - BANTUL - Ada 30 lebih undang-undang yang berhubungan dengan desa. Dari berbagai regulasi ini sedikit yang diketahui pemerintah desa. Perlu ada upaya harmonisasi secara komprehensif terhadap berbagai regulasi sehingga tidak memunculkan ego sektoral.
"Untuk itu, perlu ada revisi terhadap UU Desa. Dalam proses kajian terhadap berbagai regulasi ini, dapat dilihat apakah urgensi tidak hanya revisi UU Desa, melainkan perlu ada pembentukan Omnibus UU Desa,” kata Ilham Yuli Isdiyanto SH MH, dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Rabu (01/03/2023) kemarin, terkait Focus Group Discussion (FGD).
FGD diselenggarakan Pusat Kajian Sejarah dan Pembangunan Hukum (PKSPH) FH-UAD bersama Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa se-Indonesia (Papdesi) bertema 'Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Desa'. FGD dibuka Dr Megawati SH MH (Dekan FH-UAD) tersebut juga menghadirkan narasumber Eri Listiawan (anggta Papdesi, Kepala Desa Grenggeng), Dr Sutonp Eko Yunanto MSi.
[crosslink_1]
Menurut Ilham Yuli Isdiyanto, FGD ini bertujuan, pertama mengiventarisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan desa yang teridentifikasi perlu untuk dianalisis dan dievaluasi. Kedua, menganalisis dan mengevaluasi peraturan perundang -undangan yang teriventarisir berdasarkan ketepatan jenis peraturan perundang-undangan; potensi tumpang-tindih atau disharmonisasi."Pemenuhan asas kejelasan rumusan; kesesuaian norma dengan asas materi muatan perundang-undangan dan efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan," ujarnya.
Tujuan ketiga, memberikan rekomendasi terhadap hasil analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan yang telah diiventararisa.
Sementara itu, Dr Sutoro Eko Yunanto, MSi mengatakan, ada 4 poin besar analisis persoalan pemerintahan desa yakni, eksklusi, kontradiksi, distorsi dan akuisisi.
Pertama, dalam konteks eksklusi, terjadi pengabaian terhadap pemerintah desa dalam berbagai proses perumusan kebijakan ataupun pembentukan regulasi sehingga peran dan fungsi pemerintah desa menjadi kurang dalam berbagai macam isu strategis. Kedua, terjadi kontradiksi antara pengaturan dengan realitas yang ada dalam masyarakat desa antara regulasi dan realitas terjadi perbedaan.
Ketiga, adanya distorsi antarperaturan yang sangat ego sektoral, sehingga mengakibatkan berbagai macam bias kebijakan. Keempat, akuisisi peran dan kewenangan desa secara organis tercerabut dengan berbagai macam regulasi yang melegitimasi berbagai bentuk pengaturan terhadap arah desa.
Eri Listiawan Kepala Desa Grenggeng/Papdesi menyampaikan, perjuangan pemerintah desa bukanlah syahwat politik, terutama jika dikaitakan dengan masa jabatan. Upaya penting secara subtansi UU Desa direvisi untuk lebih memberikan hak kepada Desa dalam mengatur penyelenggaraan pemerintahannya secara lebih maksimal. Kinerja pemerintah desa bukan hanya mengurus administrasi atau kepanjangan tangan dari pusat, melainkan lebih pada kerja kemasyarakatan. “Jika dihitung, kerja Kepala Desa jauh lebih berat daripada gaji, padahal tidak ada anggaran operasional bagi Kepala Desa” tandasnya.
Ditambahkan Ilham Yuli Isdiyanto, kegiatan FGD mendengarkan berbagai masukan dari Kepala Desa, akademisi, praktisi hukum sampai dari Kementrian Hukum dan HAM DIY. "Harapannya, hasil FGD ini dapat memberikan insight untuk menghasilkan penelitian yang baik yang bisa digunakan sebagai referensi untuk membangun desa mendatang." ujarnya.(Jay).