Krjogja.com - YOGYA - Kenaikan harga kedelai yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir selalu menjadi persoalan klasik yang selalu terulang. Hal itu terjadi karena dipicu beberapa faktor diantaranya menurunnya produksi kedelai di Amerika Serikat dan Brasil sebagai penghasil utama kedelai dunia akibat La Nina serta meningkatnya impor kedelai oleh China.
Sementara disatu sisi kedelai sendiri merupakan tipikal komoditas yang sangat sesuai dikembangkan di negara empat musim dan kurang optimal dikembangkan di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Dampaknya produktivitas kedelai Indonesia sangat jauh dibandingkan dengan produktivitas di Amerika dan Eropa.
"Mahalnya harga kedelai sampai saat ini masih menjadi persoalan yang membutuhkan solusi secara cepat dan tepat. Untuk jangka pendek, mungkin solusinya bisa dilakukan dengan memberikan subsidi pada pengusaha berbahan baku kedelai (tempe dan tahu). Sehingga mereka tetap mampu berproduksi. Pengusaha tahu atau tempe mungkin akan menaikkan harga dengan resiko omset produksi akan turun atau mengecilkan ukuran agar mampu menutup biaya produksi,"kata pengamat ekonomi sekaligus dosen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY), Widarta MM di Yogyakarta,Selasa. (1/11).
Menurut Widarta, dengan adanya program insentif dari pemerintah diharapkan bisa mendorong minat petani mengembangkan komoditas kedelai sehingga kapasitas produksi nasional meningkat. Program insentif tersebut sangat diperlukan dan dapat dikembangkan melalui pemberian subsidi harga, subsidi sarana produksi, pengadaan alat mesin dan introduksi tata niaga kedelai yang baik dan efisien serta penyuluhan dan pendampingan petani yang efektif. Selain itu pemerintah diharapkan membeli panen kedelai dengan harga tinggi sebagaimana dicanangkan oleh presiden beberapa waktu lalu.
"Kalau untuk mengatasi persoalan kedelai dalam jangka panjang diperlukan terobosan baru, guna menekan impor kedelai secara signifikan dan menjaga stabilitas harga. Untuk mewujudkan itu diperlukan program strategis melalui penguatan inovasi produksi. Selain itu inovasi pemuliaan benih kedelai yang produktif, adaptif terhadap perubahan iklim sehingga mampu berproduksi secara besar di Indonesia,"terangnya.
Lebih lanjut Widarta menambahkan, jumlah penduduk yang semakin meningkat, otomatis permintaan akan kedelai secara global juga akan meningkat. Apalagi di Indonesia yang notabene menganggap bahwa tempe dan tahu adalah makanan pokok masyarakat Indonesia, padahal kenyataannnya bahan bakunya 90 persen impor. Data BPS menyebutkan beberapa tahun terakhir kebutuhan kedelai nasional sebesar 3,4-3,6 juta ton per tahun. Di sisi yang lain, kapasitas produksi dalam negeri kedelai paling tinggi hanya mendekati 1 juta ton.
"Berarti Impor kita 2,4 juta ton Indonesia sebagai negara yang bergantung pada komoditas impor kedelai. permasalahan terkait fluktuasi harga di domestik merupakan sebuah konsekuensi logis yang dipastikan akan terus berulang,"terangnya. (Ria)