YOGYA, KRJOGJA.com - Jaksa Agung telah menerbitkan Pedoman No. 7 Tahun 2022 tentang tuntutan dan pelaksanaan putusan pidana denda tindak pidana umum. Dengan memaksimalkan pidana denda, diharapkan dapat memberikan efek jera dan dapat memulihkan ekonomi negara.
Kajati DIY Katharina Endang Sarwestri SH MH mengatakan, Pedoman No.7 Tahun 2022 ini baru saja ditandatangi oleh Jaksa Agung pada Juli 2022 lalu. Dimana pendoman tersebut merupakan ide dan gagasan cemerlang dari Wakajati DIY Dr Rudi Margono SH MHum. Dimana selama ini untuk pidana denda belum ada parameternya.
“Ternyata ide cemerlang dari Wakajati DIY langsung direspon oleh Jaksa Agung dengan menerbitkan Pedoman No. 7 Tahun 2022. Harapannya implementasi pendoman ini dapat meningkatkan Penerimaan Negara Buka Pajak (PNBP),†kata Kajati saat membuka acara FGD Dengan tema Diseminasi dan Uji Publik Pedoman No. 7 Tahun 2022, Senin (8/8/2922) di Kejati DIY.
Dalam acara FGD itu dengan menghadirkan narasumber Wakil Kejaksaan Tinggi (Wakajati) Dr Rudi Margono SH MHum serta Koordinator dan pendiri Masyarakat Anti Korupsi Indonesia H Boyamin. Acara tersebut juga dihadiri dari pengadilan, kepolisian dan akademisi.
Wakajati Dr Rudi Margono SH MHum mengatakan, kedudukan pidana penjara dengan pidana denda sama. Namun selama ini penuntut hukum selama ini lebih mengedepankan pidana penjara jika dibandingkan pidana denda.
“Penuntut umum tidak maksimalkan pidana denda karena selama ini belum ada tolak ukurannya. Kemudian menerapan pidana denda ini lebih disubsiderkan. Padahal subsider itu menurunkan great tindak dana dan maksimal hanya 6 bulan kurungan,†kata Rudi.
Setelah adanya pedoman tersebut, penuntut umum akan membudayakan pidana denda terhadap tindak pidana umum. Tujuannya untuk memberikan efek jera dan dapat meningkat ekonomi negara.
“Ketika nanti pidana denda ini dibudayakan, harapannya bisa memberikan efek jera dan meningkatkan ekonomi karena negara mendapat PNBP. ,†paparnya.
Menurutnya, terdakwa yang telah diputus membayar denda, tidak alasan tidak membayar denda. Jika tidak membayar, nanti akan dirampas harta bendanya.
“Jadi nanti jaksa dan penyidik perlu memasukan berapa keuntungan dari tindak kejahatan itu. Kemudian juga melakukan ‘asset tracing’ terhadap tersangka. Supaya kalau tidak membayar, harta bendanya bisa disita,†tuturnya.
Sedangkan Boyamin menambahkan, seharusnya tidak hanya pedoman tentang tuntutan dan pelaksanaan putusan pidana denda saja. Namun juga perlu ada pedoman tentang jaminan penangguhan penahanan.
“Di negara-negara lain, sudah menerapkan jaminan penangguhan pidana. Kami berharap di Indonesia bisa menerapkan itu. Kalau tersangka tidak kooperatif, jaminan bisa disita negara. Sehingga nanti tidak akan saling curiga,†tutup Boyamin. (Sni)