YOGYA, KRJOGJA.com - Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terdampak perubahan iklim. Terbukti, perubahan iklim telah meningkatkan resiko bencana hingga 80 persen dari total bencana yang terjadi di Indonesia.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makro Ekonomi Kementerian Keuangan, Masyita Crystallin mengungkap, di sisi lain bahwa perubahan iklim juga berpotensi merugikan ekonomi Indonesia. Tidak main-main menurut dia, angkanya mencapai 3,45 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2030 mendatang.
Masyita, mengatakan pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dan sejak lama telah berkomitmen untuk melakukan pengendalian perubahan iklim. Indonesia pun berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebanyak 29 persen pada tahun 2030. Pemerintah disebut Masyita terus mendorong investasi hijau untuk mengatasi celah pembiayaan perubahan iklim, dan juga mendorong pertumbuhan berkelanjutan.
“Sayangnya mencapai komitmen itu bukanlah hal yang mudah. Masih terjadi gap atau celah pembiayaan yang dibutuhkan untuk mencapai komitmen itu. Masih terdapat kekurangan 40 persen dari biaya yang dibutuhkan sepanjang 2020-2030, atau sekitar 148 miliar dolar AS.
Karena itulah, Indonesia saat ini sedang mempersiapkan Peraturan Presiden mengenai karbon yang mengatur mengenai nilai ekonomi karbon, pengenaan pajak karbon maupun pengembangan bursa perdagangan karbon,†ungkapnya dalam seminar daring Sustainability Action for the Future Economy, Senin (23/8/2021).
Sementara, CEO Indonesia Commodity & Derivatives Exchange, Lamon Rutten yang juga menjadi pembicara, menyambut baik upaya pemerintah untuk memperkenalkan perdagangan karbon. Rutten menyatakan bahwa perdagangan karbon di bursa karbon telah diberlakukan selama hampir 2 dekade di Eropa, dan terbukti telah memberikan banyak keuntungan.
“Bahkan, secara global perdagangan karbon diestimasikan bisa mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 50 persen. Selain itu perdagangan karbon juga dapat menciptakan kesempatan baru di mana Indonesia dapat mengambil keuntungan dari perdagangan karbon ini dengan mengekspor kredit karbon, apalagi negara kita kaya akan sumber daya alam seperti hutan mangrove yang sangat luas, yang dapat menangkap sangat banyak karbon. Dan, itu bisa dilakukan dengan biaya yang rendah. Biayanya hanya kurang dari 11 dolar AS per ton karbon. Di Uni Eropa, harga karbon saat ini mencapai 64 dollar AS per ton,†tandas dia.
Chief Strategy Officer, Star Energy Geothermal, Agus Sandy Widyanto, menjelaskan bahwa setiap tahun pihaknya menghasilkan 1,4 juta ton karbon dalam bentuk karbon kredit, dan juga menghasilkan renewable energy certificate. Jumlahnya, sekitar 3 juta Megawatt hour per tahun yang dinilai menjadi modal utama perusahaan swasta dari industri pembangkitan dalam berkontribusi untuk pencapaian transisi energi yang diinginkan pemerintah.
“Sayangnya memanc ada beberapa kendala terkait energi terbarukan. Antara lain, adalah pendaftaran yang sangat kompleks dan biayanya sangat mahal, untuk mendapatkan sertifikasi energi hijau. Kendala lainnya yaitu dari segi harga di mana sejak 2019 hingga sekarang harga karbon kredit di pasar internasional terpuruk, dari sekitar belasan dolar AS per ton menjadi hanya sekitar 1 dolar AS per ton. Ini tentu sangat mengurangi kelayakan ekonomi proyek-proyek yang menggantungkan pada harga karbon internasional,†terang Agus. (Fxh)