Kasus 'Nuthuk' Imbas Pecel Lele Malioboro Mulai Bermunculan, Sultan 'Wanti-Wanti'

Photo Author
- Rabu, 2 Juni 2021 | 13:05 WIB
Sultan saat ditemui wartawan di DPRD DIY (Harminanto)
Sultan saat ditemui wartawan di DPRD DIY (Harminanto)

YOGYA, KRJOGJA.com - Kasus ‘nuthuk’ harga benar-benar menjadi fenomena gunung es di DIY. Belum habis fokus pada pedagang pecel lele di kawasan Malioboro, warganet mencurahkan pengalaman dikerjai di kawasan wisata Cangkringan, lalu Parangtritis hingga cerita lalu ditendang pedagang Malioboro ketika menawar harga.

Di Sleman, seorang wisatawan asal Klaten terpaksa membatalkan niat menuju petilasan Mbah Marijan karena diminta turun mobil dan wajib menaiki jeep wisata dengan harga Rp 350 ribu. Di Parangtritis, beberapa wisatawan juga menceritakan pengalaman mendapat jebakan betmen ketika duduk di kursi dekat pantai kemudian ditagih Rp 20 ribu ketika beranjak dan sebelumnya tak ada pemberitahuan.

Belum berhenti di situ, ada warganet lain yang mencurahkan hati sempat ‘dipancal’ oleh pedagang kaki lima Malioboro karena tak deal harga ketika tawar-menawar. Kejadian tersebut terjadi pada 28 Mei 2021 lalu, yang membuat pemilik akun azizah2291 trauma untuk datang kembali ke Malioboro. Fenomena-fenomena itu nyata terjadi dan dirasakan wisatawan di DIY. Iklim pariwisata dengan para pelakunya yang sedang akan pulih dari terpaan pandemi, lagi-lagi mendapat cobaan.

Gubernur DIY, Sri Sultan HB X memberikan komentar terkait situasi yang terjadi beberapa waktu belakangan. Sultan berharap pemerintah kabupaten/kota segera mengurai persoalan tersebut agar tak terjadi kedepan.

“Mestinya tidak seperti itulah. Kalau masalah itu (nuthuk) jangan terulang lah, sudah ada ketentuan kota dengan daftar makanan sudah ada. Itu diperlihatkan saja toh sudah ada harganya. Itu sebenarnya wewenang kabupaten/kota. Mestinya itu semua orang memperlihatkan dengan jelas, dodolane opo regane piro, itu fair,” tegas Sultan ketika dijumpai usai rapat paripurna di DPRD DIY, Rabu (2/6/2021).

Sultan mewanti-wanti, ketika situasi ketidakjelasan itu diteruskan, justru menjadi ladang korupsi yang empuk bagi oknum-oknum tertentu. “Nek ora (ada ketidakjelasan) pasti akan bermasalah, di manapun pasti bermasalah. Pemda mewajibkan mereka yang berjualan punya daftar makanan sama harga mestinya. Dengan begitu ada kemudahan kalau memang mau mengkolek retribusinya. Nanti retribusine ora jelas, hargane ora jelas. Pekerjaan seperti itu paling mudah untuk dikorupsi,” tandas dia.

Terkait tarif parkir di kawasan Malioboro dan sekitarnya yang melejit, Sultan menilai bawasanya selama ini Kota Yogyakarta memang belum lepas dari permasalahan parkir itu. Sultan pun menawarkan opsi, menjadikan kawasan Malioboro dan sekitarnya sebagai ruang premium dengan aturan dan konsekuensi yang jelas.

“Sekarang misalnya parkir Rp 20 ribu, bisa nggak sih kota berpikir berbeda karena tidak mudah cari parkir di Malioboro, apalagi selalu punya masalah traffic, parkir dan beban kendaraan. Nyatakan saja Malioboro sebagai kawasan premium, parkir cedak Malioboro larang, semakin jauh murah. Ini yang bisa dinyatakan, tapi harus ada keputusan dan aturannya agar tidak disalahgunakan,” pungkas Sultan. (Fxh)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB
X