YOGYA, KRJOGJA.com - Para Pedagang Kaki Lima (PKL) di DIY yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) semakin terpuruk dan mengalami penurunan omset yang luar biasa dan banyak yang tutup daripada mengeluarkan biaya operasional lebih besar saat ini. Tekanan tersebut telah dirasakan sejak awal pandemi Covid-19 yang kini dihantam dengan adanya kebijakan pengetatan yang dikeluarkan pemerintah. Nasib PKL di DIY sudah berada diujung tanduk, sehingga sangat membutuhkan bantuan dan stimulus terutama permodalan agar bangkit kembali berjualan.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) APKLI DIY Mukhlas Madani menegaskan pihaknya tetap kecewa dengan perpanjangan penerapan Pengetatan Secara Terbatas Kegiatan Masyarakat (PTKM) tahap III atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro di DIY berlaku Selasa (9/2) hingga 22 Februari 2021 mendatang. Meskipun jam operasional buka ditambah dari yang semula hanya sampai pukul 20.00 WIB menjadi 21.00 WIB, tetapi dinilai belum cukup bagi PKL untuk bisa leluasa berjualan. Pihaknya sudah berkali-kali menyampaikan usulan agar kebijakan pembatasan ditiadakan atau dihentikan, namun tetap diperpanjang.
"Anggota APKLI DIY ingin ditiadakan kebijakan pembatasan itu, karena pencegahan virus Korona bukan masalah pembatasan waktu tetapi terkait disiplin pelaksanaan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Kami paham Pemda DIY hanya melaksanakan apa yang telah menjadi kebijakan pusat, tetapi kami tetap minta ada kelonggaran jam buka atau operasional," ujarnya kepada KR di Yogyakarta, Sabtu (13/2).
Mukhlas mengaku pendapatan PKL di DIY selama pandemi Covid-19 sudah mengalami tekanan luar biasa signifikan. Kini ditambah dengan adanya kebijakan pengetatan, omset PKL tertekan di atas 75 persen saat ini. Daripada semakin merugi, setidaknya lebih dari 50 persen PKL di DIY memilih tidak berjualan selama pandemi. Sebab jika PKL tetap berjualan malah akan 'tombok' karena biaya operasional lebih tinggi tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh.
"Kebijakan pembatasan ini dampaknya sangat luar biasa sekali bagi pedagang kecil seperti kami. Dari sekitar lebih 20 ribu PKL di DIY, 50 persennya sudah tidak beroperasional saat ini. Yang dampaknya cukup besar dialami PKL yang waktu operasionalnya pukul 16.00 WIB hingga malam seperti angkringan maupun lesehan, mereka semakin terpukul," tandasnya.
Berdasarkan pengalaman PKL di lapangan, Mukhlas menyampaikan jika jam operasional dibatasi hingga pukul 21.00 maka waktunya masih terlalu pendek berjualan, khususnya bagi PKL sore. Untuk itu, pihaknya meminta agar jam operasional bisa dikompromikan setidaknya sampai pukul 23.00 WIB. Bahkan, semua lapak-lapak PKL di DIY juga telah berusaha melaksanakan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 selama berjualan.
"Jadi kami minta pemerintah bisa berkompromi perihal jam operasional tersebut dan kita butuh bantuan modal karena banyaknya PKL yang vakum karena banyak yang harus mengeluarkan biaya operasional lebih alias nombok. Banyaknya PKL di DIY yang tidak jualan ini akhirnya membuat modalnya habis untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, sehingga kami butuh stimulus permodalan untuk kembali berjualan kembali," pungkasnya. (Ira)