YOGYA, KRJOGJA.com - Di Era Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), masyarakat perlu didorong untuk memiliki etika sosial baru yaitu etika hidup/pergaulan berjarak. Etika berjarak ini harus diimplementasikan di semua lini kehidupan, termasuk di bidang kebudayaan atau ekspresi seni.
Pengamat dan Penggiat Seni Budaya Purwadmadi Admadipurwa mengatakan, agar dalam sebuah pertunjukan seni (katakanlah ketroprak) sesuai dengan protokol kesehatan, maka orang kesenian perlu menemukan atau membuat sebuah estetika berjarak. Misalnya adegan gandrung tanpa berdekatan, adegan tarung tanpa bersentuhan, termasuk memberi jarak dalam penataan perangkat gamelan dan para penabuh gamelannya perlu memakai masker atau pelindung wajah.
"Pelaku budaya perlu melakukan inovasi-inovasi untuk menemukan estetika berjarak sebagai etika sosial baru dalam berkesenian," terang Purwadmadi dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema 'Inovasi Seni dan Budaya di Tengah Pandemi Covid-19' di Hotel Horrison Ultima Riss Gowongan Yogyakarta, Jumat (6/11). FGD diselenggarakan oleh SKH Kedaulatan Rakyat (KR) bekerja sama dengan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dipandu host Redaktur KR Jayadi K Kastari diikuti Pemimpin Redaksi KR Octo Lampito dan jajaran. Siaran ulang FGD bisa dilihat di channel Youtube Kedaulatan Rakyat TV.
FGD menghadirkan narasumber lain yakni Sutradara dan Penulis Naskah Ketoprak, Bondan Nusantara dan Wakil Ketua Sekretariat Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY sekaligus Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Biwara Yuswantana.
Menurut Purwadmadi, selain harus menemukan estetika berjarak dalam berkesenian, para pelaku budaya juga harus memperhatikan migrasi karakter media akibat tekanan pandemi, yaitu dari karakter panggungan yang ditonton, saling berdekatan dan berkerumun menjadi panggungan tidak ditonton dan tidak berkerumun. Sayangnya migrasi media yang banyak menggunakan teknologi IT tersebut, hanya baru sampai tahapan digunakan untuk memindah panggung fisik spasial menjadi panggung layar.
"Nonton siaran digital sekarang seperti nonton di panggung tapi bedanya lewat layar," katanya. Padahal tuntutan media audio visual elektronik tentu berbeda dengan tuntutan panggung fisik. Maka harus ada migrasi karakter media dibarengi migrasi panggung.
"Untuk mencapai kedua-duanya harus ada migrasi perilaku dari para pelaku budaya terhadap karakter media dan karakter estetika berjarak tadi. Ini harus ketemu. Kalau tidak ketemu ya sama saja hanya memindah panggung ke layar," katanya.
Biwara Yuswantana mengatakan, pandemi Covid-19 merupakan hal yang baru, sehingga sempat membuat semua pihak gagap dalam mengetahui ancamannya dan gagap dalam bertindak. Beruntung Yogyakarta memiliki modal sosial yang kuat, sehingga proses adaptasi bisa dilakukan dengan cepat.
Menurutnya, pandemi ini menuntut perubahan perilaku dan seniman sebagai bagian dari masyarkat sangat berperan dalam membentuk perilaku baru tersebut. "Inovasi seniman dan pelaku budaya dalam berekspresi bisa dikemas menjadi satu bagian dari upaya kita membangun perilaku baru di era AKB," katanya.
Sedangkan Bondan Nusantara mengatakan, karena ada kebijakan larangan pertunjukan panggung yang ditonton akibat pandemi, maka Tim Pengembangan Kethoprak DIY bersama seniman muda DIY berinisiatif membuat Sineprak atau Sinematografi Kethoprak anak muda yang diluncurkan pada 30 Mei 2020 yang disiarkan melalui kanal Youtube.
Ide Sineprak ini, menurut Bondan, awalnya untuk memfasilitasi seniman muda milenial agar tidak stress di rumah, sehingga Sineprak menjadi wahana mereka untuk bereskpresi seni. "Sineprak mendapat sambutan luar biasa dari masyarkat dibuktikan dengan banyak anak muda yang bergabung," katanya. (Dev)