YOGYA, KRJOGJA.com - Data survei kerukunan umat beragama (KUB) di DIY selama tiga tahun terakhir (2017-2019) yang dikeluarkan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI ternyata di atas rata-rata nasional. Pada tahun 2017 sikap toleransi di DIY angkanya 71,9 persen, sedangkan di tingkat nasional 70,91. Di tahun 2018 (75,84 persen), nasional 70,33 persen. Kemudian pada tahun 2019, sikap toleransi di DIY juga di atas rata-rata nasional yakni 73,48, sedangkan nasional 72,37 persen.
Hal itu mencuat dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digagas Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Kamis (1/10/2020). Peserta kegiatan ini dari unsur forum umat beragama, wakil Kemenag DIY, Kesbangpol dan wartawan. Acara ini dipandu Prof Dr H Koeswinarno MHum, peneliti utama Puslitbang Badan Litbang dan Diklat Kemenag.
Namun, meski sikap toleransi selama tiga tahun terakhir selalu di atas rata-rata nasional, tetapi data yang dimiliki Puslitbang Kemenag itu, juga menyebutkan, persoalan kesetaraan masih sedikit ada kesenjangan bila dibandingkan dengan angka rata-rata nasional, walaupun selisihnya sangat kecil. Misalnya, di tahun 2017, angka kesetaraan di DIY 71,2 persen, sedangkan angka nasional 72,38. Begitu pula di tahun 2019 angka keseteraan di DIY 73,26, sedangkan secara nasional 73,72 persen.
Pada sisi lain, peserta FGD banyak menyoroti keberadaan media sosial (medsos) yang terlalu 'bebas' mengangkat isu intoleransi, sehingga terkadang membuat masalah tersebut menjadi heboh dan memancing kontroversi di masyarakat. Padahal sebenarnyam persoalan intoleransi yang sering terjadi sebenarnya bisa diatasi dengan baik, asalkan negara/pemerintah hadir menyelesaikan permasalahan tersebut. Kenyataan di lapangan, saat muncul kasus intoleransi tak ada ketegasan pemerintah. Bahkan, cenderung mendiamkan.
Seperti dikemukakan tokoh masyarakat KH Abdul Muhaimin, peristiwa intoleransi yang sering terjadi di DIY sebenarnya bisa secepatnya diatasi. Namun, ia melihat saat kasus intoleransi mencuat cenderung dibesar-besarkan, lebih-lebih ketika kemudian beredar di medsos. "Seperti ada motif-motif untuk kepentingan tertentu," ujarnya.
Wakil dari Kemenag DIY, Drs H Solikhan Amin MHI menilai, dari pengamatan di lapangan munculnya beberapa kasus intoleransi, karena desakan faktor ekonomi. Masalah ini menjadi pemicu ditambah lagi kemudian mencuat di medsos, sehingga membuat 'gaduh' .
Dua peserta lainnya, Dr Gregorius Nur Haryanto SH dari UAJY dan Joko Suryanto MHum dari Kesbangpol sependapat, perlu ada ketegasan aparatur negara/pemerintah untuk tidak ragu-ragu menyelesaikan ketika terjadi konflik atau masalah yang berkaitan dengan agama maupun intoleransi. Dengan kata lain, jangan mendiamkan persoalan tersebut tanpa ada penyelesaian.
"Aparatur harus di garis depan, karena biasanya kasus intoleransi itu bersifat keroyokan," kata Hur Haryanto.(Obi)