YOGYA, KRJOGJA.com - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Republik Indonesia, Wiranto, menjadi korban penusukan oleh terduga teroris (10/10/2019) berinisial SA alias Abu Rara beserta istrinya, FA. Kepolisian RI dan Badan Intelijen Negara (BIN) menyebut Abu Rara merupakan anggota Jamaah Ansharu Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS.Â
Abu Rara diketahui merupakan jaringan Abu Zee yang ditangkap oleh Polisi di Bekasi (23/9/2019) lalu. Pola organisasi dan pendekatan amaliah JAD bentukan Aman Abdurrahman, yang divonis mati untuk sejumlah kasus terorisme (22/6/2018), memang berbeda dari organisasi terorisme lainnya yang melakukan aksi dalam skala besar.Â
Ismail Hasani, Direktur Eksekutif SETARA Insitute yang juga Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan Jejaring organisasi JAD sangat cair dengan sleeping cell (sel tidur) tidak terstruktur tetapi menyebar dan mengadopsi pendekatan lone wolf (bergerak secara sendiri-sendiri) dalam melakukan amaliah. Gerakan sporadis dan sendiri-sendiri dilakukan oleh anggota JAD yang meskipun tindakan kecil tetapi memelihara efek keresahan berkepanjangan.
“SETARA Institute berpandangan, serangan terhadap Menko Polhukam harus dibaca sebagai serangan terhadap negara, yang menimbulkan efek berlapis dan memperpanjang usia keresahan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, aparat keamanan mesti meningkatkan kewaspadaan dengan mengantisipasi konsolidasi sel-sel tidur dan aksi teror yang memanfaatkan berbagai momentum politik nasional. Tetapi, antisipasi ini dilakukan dengan tidak melakukan generalisasi termasuk penggunaan isu intoleransi dan radikalisme sebagai alat penundukkan gerakan sipil yang melakukan koreksi atas sejumlah kekeliruan kebijakan sejumlah elemen negara,†ungkapnya pada KRjogja.com melalui siaran pers Jumat (11/10/2019).Â
SETARA Institute menurut Ismail mengutuk segala bentuk terorisme dan ekstremisme kekerasan (violent extremism) serta penggunaan doktrin ideologis apapun untuk mengganggu dan merusak tatanan hidup bersama bangsa dan negara. Terorisme merupakan ancaman nyata yang karena itu pemerintah harus selalu menyiagakan dan memobilisasi sumber daya yang memadai untuk mencegah dan menangani ekspresi puncak ekstremisme kekerasan tersebut, demi menjaga dan melindungi keselamatan seluruh warga negara.Â
“Meskipun demikian, pencegahan terorisme menuntut pemerintah harus memiliki formula yang presisi, holistik dan berkelanjutan dalam kerangka HAM dan demokrasi. Pemerintah harus fokus pada hulu terorisme dan mempersempit enabling environment yang mempercepat inkubasi terorisme. Terorisme dan segala bentuk ekstremisme kekerasan merupakan musuh bersama seluruh bangsa dan umat manusia. Oleh karena itu, pencegahan dan penanganannya tidak cukup mengandalkan kelembagaan dan sumber daya negara. Negara memang harus menjadi agensi utama dalam pencegahan ekstremisme kekerasan juga dibutuhkan partisipasi warga, khususnya dalam pencegahannya, sehingga akan terbangun perlawanan semesta terhadap terorisme,†ungkapnya lagi.Â
Agenda penguatan ketahanan warga (resilience) menjadi kebutuhan untuk membentengi warga dari paparan dan intrusi gerakan dan narasi anti kebinekaan dan Pancasila. Dalam konteks itu, Pendidikan Kebinekaan dan tata kelola yang inklusif harus digalakkan, termasuk terus menabur toleransi agar seluruh anak bangsa dapat hidup bersama secara damai di tengah aneka perbedaan. (Fxh)