YOGYA, KRJOGJA.com - Era disruptif revolusi industri 4.0 membawa konsekuensi di dunia pendidikan. Sekolah pun kini dituntut berubah untuk menghadapi cepatnya laju perubahan termasuk memahami siswa yang kini membawa predikat “Digital Nativeâ€.Â
Pengamat pendidikan Prof Ki Supriyoko dalam dialog bersama Fraksi PKS di DPRD DIY Senin (18/3/2018) mengatakan saat ini yang terjadi di sekolah adalah pertemuan antara siswa dengan Digital Native dan guru yang masuk kategori Digital Imigrant. Pun begitu, pembuat program pendidikan juga berasal dari generasi Digital Imigrant yang kadang tak bisa menemukan kesamaan cara pandang dengan siswa.Â
“Ketika masuk dunia pendidikan saat ini programnya dibuat oleh generasi dari digital imigrant, sementara anak didiknya yang menyantap materi dari digital native. Ini tidak sejalan karena menurut pembuat, kita-kita ini sudah bagus tapi anak-anak merasa tak perlu. Ini problem yang sedang kita hadapi saat ini di sekolah,†ungkapnya.Â
Kondisi tersebut menurut Ki Supriyoko menjadikan sekolah mau tak mau harus berubah menyesuaikan perkembangan. “Konsep-konsep lama harus diubah menjadi lebih baru, kalau tidak ya sekolah kedepan tidak laku. Semua orang lebih tertarik belajar dari sini (menunjuk hanphone),†sambungnya lagi.Â
Namun begitu, DIY memiliki keunggulan daripada daerah lainnya dengan adanya lima soko guru pendidikan yakni Kraton, Muhammadiyah, Pondok Pesantren, Tamansiswa dan Pendidikan Non Muslim.Â
Sementara Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY Kadarmanta Baskara Aji menyampaikan adanya perubahan memang membawa dampak pada perjalanan beriringan pada aspek Sumber Daya Manusia (SDM). Saat ini pemda DIY telah memiliki berbagai program untuk peningkatan kualitas pengajar demi menyesuaikan era 4.0.Â
“Kualifikasi guru menurut kami cukup, jumlahnya juga cukup. Namun persoalannya memang sampai pada kesejahteraan, karena masih banyak guru yang non PNS dengan gaji tidak cukup. Ini jadi masalah pembangunan kualitas,†ungkapnya.Â