'Tanah Mama' Jadi Kampanye Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Photo Author
- Sabtu, 9 Desember 2017 | 19:05 WIB

YOGYA, KRJOGJA.com - Kampanye Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) kedua kalinya dilakukan di Yogyakarta. Kegiatan serupa juga digelar di Makassar, Jambi, Bali, Bandung selama 16 hari, mulai tanggal 25 November hingga 10 Desember. 

Acara ini diiinisiasi Jaringan #Gerakbersama, Kalyanashira Films, Aliansi Satu Visi (ASV) dan 100% Manusia Film Festival. Rifka Annisa Women Crisis’s Center, sebagai salah satu anggota dari Aliansi Satu Visi (ASV) dipercaya untuk mengadakan screening film dan diskusi khusus di daerah Yogyakarta, khususnya bertempat di Domestik Cafe. 

Acara yang dimulai pukul 20.00-22.00  merupakan acara lanjutan dari screening film sebelumnya “Ragate Anak”, yang diadakan di uwong Cafe pada Senin, 27 November 2017. 

Rifka Annisa turut mengundang pembicara, Dra Agustina Murniati Prasetyo MA, seorang aktivis perempuan yang dulu bekerja sebagai Komnas Perempuan (1998-2006). Seorang aktivis perempuan turut diundang sebagai moderator diskusi, Indiah Wahyu Andari SPsi.

Film yang ditayangkan pada Jumat, 8 Desember 2017, “Tanah Mama”, diproduseri oleh Nia Dinata, yang termasuk film dokumenter (2015) termahal. Film yang bertutur sederhana, tetapi menohok ke isu perempuan yang mengalami multi-beban akibat keadaan sosial budaya yang tidak adil, tepatnya di Papua. Mama Halosina, yang menjadi sosok ibu dari empat anak yang menjadi tulang punggung keluarga, akibat suami tidak bekerja dan menikah dengan orang lain. 

Disampaikan Indi, Konselor Psikologi Rifka Annisa, tercatat 259.150 kasus kekerasan pada perempuan terjadi pada tahun 2016. Terbagi dalam tiga ranah: personal berupa KDRT dan KDP (Kekerasan Dalam Pacaran), negara dan komunitas.

Acara dihadiri 80 peserta dari berbagai institusi dan komunitas. “Dapat menggugah masyarakat sekitar dan memberikan informasi mengeai isu-isu perempuan dengan cara yang lebih menarik dan mudah dipahami, sehingga masyarakat sadar dan kemudian ikut berperan dalam mengatasi ketimpangan-ketimpangan gender di masyakarat,” ujar Ike, selaku panitia penyelenggara. 

“Juga dapat mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” tambahnya. Dengan durasi 62 menit, dapat menyaksikan penderitaan kaum perempuan yang dituntut oleh sosial budaya yang ada. Acara yang dilanjutkan diskusi membahas pranata kehidupan, perubahan proses dan sosial budaya. “Sosial budaya menuntut manusia melalui gender. Padahal belum tentu bisa sesuai sosial budaya. Kesalahan-kesalahan ini yang saya sebut ketidakadilan,” ucap Agustina Prasetya Murniati alias Nunuk, saat mengakhiri diskusi. (Nur Vitria)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: agung

Tags

Rekomendasi

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB
X