YOGYA (KRjogja.com) - Undang-Undang (UU) No 11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak (tax amnesty) berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi. UU tersebut tidak hanya mengampuni tindak pidana pajak, namun juga tindak pidana lain seperti pencucian uang.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM Zaenur Rohman mengatakan, dalam pasal 20 UU Pengampunan Pajak, data dan informasi yang masuk ke Kementerian Keuangan terkait pelaksanaan UU ini tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pidana terhadap wajib pajak. Sementara UU No 8 tahun 2010 tentang pencucian uang (pasal 40 huruf a) menyebutkan, lembaga negara PPATK berwenang meminta dan mendapatkan data informasi dari instansi pemerintah atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi.
"Kedua pasal ini saling bertentangan," terang Zaenur Rohman saat menyampaikan keterangan pers di kantor Pukat, Senin (18/07/2016).
Kondisi ini tentu menjadi halangan bagi lembaga penegak hukum untuk menyelesaikan kasus korupsi dan pencucian uang, karena tidak bisa meminta data soal aset yang dimiliki para wajib pajak. Padahal agenda terpenting dalam pemberantasan mega korupsi adalah sinergitas antarlembaga untuk mengembalikan aset negara yang dibawa kabur.
"Dengan adanya pasal 20 UU Pengampunan Pajak, dana yang masuk tidak bisa terdeteksi apakah itu murni pajak atau hasil pencucian/korupsi. Selain itu, orangnya juga tidak bisa dijerat hukum karena terlindungi UU," katanya.
Peneliti Pukat lainnya Fariz Fachryan mengatakan, tujuan pemerintah melalui UU Pengampunan Pajak ini untuk menggenjot pendapatan pajak. Jika dana ribuan triliun yang berada di luar negeri (tax haven) bisa kembali ke tanah air, dana tersebut bisa untuk mendorong pembangunan. Namun ternyata UU tersebut mengesampingkan semangat pemberantasan korupsi, sehingga muncul impunitas terhadap para pelaku mega korupsi. (R-2)