YOGYA (KRjogja.com) - Banyak ulama terutama di Jawa Tengah yang sudah mengeluarkan fatwa haram untuk daging sapi glonggongan. Hal itu karena cara yang dilakukan oknum untuk menambah berat daging dengan cara diglonggong, sangat menyiksa sapi. Demikian diungkapkan dosen Fakultas Peternakan (Fapet) UGM Nanung Danar Dono SPt MP PhD saat menyampaikan paparan dalam workshop pengolahan pangan halal dan thoyyib bagi UKM di Auditorium Fapet UGM, Kamis (30/6/2016). Workshop dalam rangka Dies Natalis ke-47 Fapet UGM.
Dikatakan, menggelonggong artinya memasukkan air secara paksa ke tubuh sapi, hingga bobot sapi bertambah 30 persen. Karena perut sapi dipenuhi air, menyebabkan isi perut (usus) keluar melalui anus. Sapi pun ndeprok karena tidak kuat menahan berat badannya, dengan posisi tali keluh tetap terikat. "Dengan posisi seperti ini leher sapi menahan beban sangat berat mencapai 600 kilogram," katanya.
Setelah diglonggong, sapi kemudian diistirahatkan dan diberi air dingin biar segar, untuk diglonggong lagi sampai tiga kali. Banyak sapi yang pingsan saat diglonggong atau mati sebelum disembelih. Kemudian saat akan disembelih di rumah pemotongan hewan, sapi dipaksa berjalan meski dalam keadaan kepayahan. Pemilih sapi berusaha agar sapinya mau berjalan dengan cara didorong atau mematahkan ekornya. Saat berjalan, perut sapi membuncit dengan anus menyembul. "Karena penyiksaan luar biasa inilah, banyak ulama yang mengeluarkan fatwa haram untuk daging sapi glonggongan," katanya.
Untuk itu, Nanung berpesan kepada masyarakat untuk selektif membeli daging sapi. Mendeteksi daging sapi glonggongan sangat mudah, yakni meneteskan air jika daging digantung serta menggenang jika daging diletakkan dibawah. Selain itu biasanya daging sapi glonggongan teksturnya mudah rusah, cepat busuk dan dijual dengan harga murah. "Daging sapi glonggongan ini berpenampilan basah, sangat berbeda dengan daging sapi pada umumnya," katanya.
Sedangkan dosen Fapet UGM lainnya Dr Ir Nurliyani MS menekankan pentingnya kemanan pangan bagi produsen dan konsumen. Menurutnya kualitas pangan yang dikonsumsi sangat menentukan kualitas SDM, untuk membentuk manusia yang sehat dan produktif. "Pangan merupakan kebutuhan dasar dan sebagai hak asasi manusia yang harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi," katanya. (R-2)