Krjogja.com, YOGYA - Pengamat ekonomi energi UGM, Fahmy Radhi mengkhawatirkan derasnya migrasi dari Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi ke subsidi pasca kenaikan harga BBM non subsidi per 1 Oktober 2023. Idealnya, harga BBM subsidi ikut naik untuk menurunkan disparitas harga dengan BBM subsidi.
Hal ini ditegaskan Fahmy di Yogyakarta, Rabu (4/10). Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) kembali menaikkan harga BBM non subsidi. Misalnya, harga Pertamax yang beroktan 92, naik dari Rp13.300 menjadi Rp14.000 per liter, Pertamax Green 95 naik dari Rp15.000 menjadi Rp16.000 per liter.dan Pertamax Dex naik dari Rp16.900 menjadi Rp17.900.
"Kenaikkan harga BBM non-subsidi itu memang menjadi keniscayaan bagi Pertamina. Karena harus mengikuti mekanisme pasar. Variabel utama penetapan harga BBM non-subsidi adalah meroketnya harga minyak dunia.hingga menyentuh US$95,31 per barrel," tuturnya.
Kendati harga minyak dunia mendekati US$ 100 per barrel, Pemerintah bersikukuh tidak menaikkan harga BBM subsidi, Pertalite dan Solar. Problematika meroketnya harga BBM non subsidi ini, menyimpan masalah baru.
Karena mahal, pemilik kendaraan yang biasanya menggunakan BBM nonsubsidi, beralih ke BBM subsidi. Alhasil, kuota BBM subsidi melonjak tajam sehingga mengancam alokasi subsidi yang sudah dipatok dalam APBN 2023.
"Kenaikkan harga ini, memperbesar disparitas harga BBM non-subsidi dengan harga BBM subsidi. Disparitas harga itu akan memicu gelombang migrasi konsumen Pertamax ke Pertalite. Migrasi tersebut berpotensi menjebolkan quota Pertalite, yang akan memperberat beban APBN dalam pemberian subsidi BBM," paparnya.
Untuk mencegah migrasi ke BBM subsidi, kata Fahmy, pemerintah mempunyai opsi menaikkan harga Pertalite. Tujuannya memperkecil disparitas antara harga Pertamax dengan Pertalite. Idealnya disparitas antara kedua jenis Dengan disparitas harga yang tidak menganga, konsumen Pertamax akan berfikir ulang untuk migrasi ke Pertalite.
"Meroketnya harga BBM non-subsidi itu sesungguhnya tidak secara signifikan memicu kenaikan inflasi, yang menurunkan daya beli masyarakat.
Alasannya, proporsi konsumen BBM non-subsidi relatif kecil, hanya sekitar 11,5% dari total pengguna BBM, yang umumnya konsumen kelas menengah ke atas," pungkasnya. (*)