KRjogja.com - YOGYA - Kenaikan harga pangan (beras) akhir-akhir ini disinyalir merupakan imbas dari fenomena El Nino yang memicu kemarau panjang dan ada lonjakan harga bahan bakar minyak (BBM). Salah satu pemicunya adalah ketegangan geopolitik seperti Perang Rusia-Ukraina dan Hamas-Israel akhir-akhir ini. Kenaikan itu secara tidak langsung menjadikan petani senang karena harga gabah tembus Rp 7.300-7.400 per kg. Angka tersebut melonjak sangat jauh dari harga normalnya yang biasa berkisar di Rp 4.200-4.300 per kg. Adanya kondisi itu butuh perhatian serius dari pemerintah.
"Kenaikan beras saat ini merupakan tertinggi selama 10 tahun terakhir. Kenaikan yang biasanya hanya Rp 50 sampai Rp 200 perak, sekarang bisa mencapai Rp 1.000 sampai Rp 5.000. Langkah dalam jangka pendek yang dilakukan pemerintah adalah dengan operasi pasar memang mampu meredam kegelisahan pembeli (konsumen). Tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan secara terus menerus," kata dosen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY), Widarta, MM CDMP di Yogyakarta, Senin (16/10/2023).
Baca Juga: Madrasah Pandai Berhitung, Menag Targetkan Tiga Juta Guru dan Siswa Ahli Matematika
Widarta mengatakan, selain menggencarkan operasi pasar, pemerintah juga mengeluarkan seluruh stok yang ada di gudang Bulog. Meski terbatas, seluruh pasokan harus masuk ke pasar, bekerjasama dengan pedagang ritel, untuk menjaga keberadaan beras di pasar tetap aman. Adapun untuk stok pemerintah, akhirnya yang dilakukan adalah dengan mengimpor beras. Walaupun tidak dipungkiri masih tetap ada kendala ada beberapa negara yang membatasi ekspor. Hal itu mereka lakukan untuk memastikan cadangan beras dalam negeri aman.
"Sejumlah upaya terus dilakukan pemerintah untuk memastikan stok dan ketersediaan beras di pasaran. Termasuk dengan melakukan Impor dari negara lain. Kendati demikian perlu dipahami bahwa impor belum bisa sepenuhnya menyelesaikan permasalahan pangan yang ada," terangnya.
Baca Juga: Diduga Selingkuh, Ibu-Ibu Demo Tuntut Pemecatan Salah Satu Perangkat Desa Dalangan
Ditambahkannya, produksi beras dalam negeri trennya terus menurun akibat kebijakan pangan yang bermasalah dan kurang antisipatif. Oleh karena itu pemerintah perlu lebih serius dalam penanganan kebijakan pangan. Salah satunya, lewat alokasi anggaran subsidi pupuk. Mengingat dalam beberapa tahun terakhir anggaran tersebut terus dipangkas. Bahkan di 2024, anggaran subsidi pupuk hanya Rp 26 triliun. Semua perlu support anggaran, alokasi sektor pertanian dalam APBN 2024 perlu direvisi lagi.
"Menurut saya setidaknya perlu dinaikan 2 kali lipat dari yang dianggaran saat ini. Salah satu caranya pemerintah perlu campur tangan dengan memberikan subsidi pupuk. Dengan begitu cost pertanian dari sisi petani sedikit berkurang. Kita perlu mencontoh dan belajar pada India yang penduduknya 2,4 Milyar tapi mampu berswasembada beras bahkan mengeskpor beras ke dunia," jelasnya. (Ria)