KRjogja.com, YOGYA - Kenaikan harga kebutuhan pokok saat Ramadan atau menjelang lebaran menjadi langganan (rutinitas) setiap tahunnya, meningkatnya harga pangan dipicu oleh bertambahnya jumlah permintaan barang. Naiknya permintaan terhadap barang tidak disertai dengan kesiapan pasokan barang.
Secara teori ekonomi jika permintaan meningkat sedangkan pasokan barang yang disediakan tetap/terbatas, maka harga barang akan mengalami peningkatan. Dari sisi permintaan, Kenaikan rutin ini sebenarnya lebih dipicu factor psikologi masyarakat kita, gaya hidup yang cenderung boros pada saat bulan romadhan.
"Masyarakat cenderung konsumtif, contoh kecil ketika buka puasanya bisanya menunya lebih istimewa dan beraneka menu dari pada menu ketika tidak puasa. Belum lagi banyak kelompok-kelompok (intitusi) masyakarat yang memenuhi rumah-rumah makan, cafe-cafe dan lain-lqonbhanya untuk sekedar berbuka puasa tentu dengan menu yang istimewa," kata pengamat ekonomi sekaligus dosen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY), Widarta MM di Yogyakarta, Selasa (12/3).
Widarta mengatakan, Ramadan tahun ini (1445), harga kebutuhan pangan khususnya beras sudah relatif tinggi sejak Agustus 2023 bahkan pada awal 2024 ini terus mengalami kenaikan. Dengan argumentasi pemerintah karena cuaca (el nino) sehingga berakibat pada tertundanya masa tanam dan masa panen, maka pemerintah melakukan import 2,8 juta ton sebagai langkah menutup kekurangan tersebut. Walaupun langkah tersebut tampaknya tidak efektif untuk menstabilkan harga pangan khususnya beras. Untuk itu langkah nyata pemerintah ditunggu masyarakat khususnya pernyataan pemerintah yang menyatakan bahwa stock beras aman sampai dengan lebaran.
"Guna memastikan bahwa stok Sembako termasuk beras aman sampai lebaran. Pemerintah perlu segera menyalurkan ke pasar-pasar atau juga lewat bantuan pangan/operasi pasar dan sebagainya. Tindakan ini akan meningkat kepercayaan masyarakat secara psikologi bahwa beras 'aman'. Hal tersebut penting untuk mengurangi kecemasan masyarakat sehingga tidak sampai terjadi panic buying,"terangnya.
Lebih lanjut Widarta menambahkan, selain faktor-faktor di atas, pemerintah juga perlu memastikan jangan sampai terjadi penimbunan barang, dengan begitu kinerja pasokan tidak terganggu. Adapun untuk mengatasi kenaikan harga kebutuhan pokok bisa dilakukan dengan menyeimbangkan antara pengeluaran dan kebutuhan pokok, pengendalian stok kebutuhan pokok, dan yang terpenting adalah mengubah gaya hidup (psikologi) masyarakat.Karena dari sisi penawaran, pedagang dengan gaya konsumtif masyarakat tadi biasanya terus akan menaikkan harga atau juga menambah stock. Ini juga dimanfaatkan oleh pedagang untuk menambah keuntungan dengan menambah kuantitas penjualan.
"Biasanya saat Ramadan hingga lebaran harga barang mengalami peningkatan yang sangat pesat. Hal itu terjadi karena jumlah barang yang diminta terus meningkat, sedangkan jumlah barang tetap atau cenderung kurang. Namun ketika tidak terjadi lebaran atau hari besar lainnya, jumlah barang yang diminta relatif dan jumlah barang yang disediakan juga relatif," paparnya. (Ria)