Krjogja.com - YOGYA - Selasa (22/5) pagi itu, suasana di Pusat Desain Industri Nasional Yogyakarta terasa sedikit lebih serius dari biasanya. Bukan tanpa alasan — studio sementara itu menjadi saksi rekaman Podcast PBJ Insight Episode 2, yang mengangkat tema kritis: “Tantangan Pengadaan Pemerintah untuk Proyek Infrastruktur Besar”.
Dipandu host Artika Amelia, episode berdurasi 60 menit ini menghadirkan dua sosok kunci: Haris Sugiharta, S.IP, anggota Komisi C DPRD DIY, dan Gutik Lestarna, S.P.T., M.Acc., Pengelola Pengadaan Barang dan Jasa Muda.
Namun, ini bukan sekadar bincang-bincang studio. Episode ini terasa seperti membuka “dapur” kebijakan dan realitas lapangan dalam pengadaan proyek bernilai miliaran rupiah.
Antara Ideal dan Realitas: Ketika Spesifikasi Menjadi Arena Sanggah
Gutik membuka dengan pernyataan lugas: “Menyusun dokumen pemilihan itu ibarat menulis peta untuk medan yang terus berubah.” Ketidaksesuaian antara perencanaan teknis dan realitas lapangan, menurutnya, menjadi jebakan awal dalam banyak proyek infrastruktur.
Ketika spesifikasi tidak disusun dengan cermat — dari jadwal pelaksanaan hingga kriteria evaluasi — maka pintu sanggahan terbuka lebar. Hal ini berdampak langsung pada kualitas peserta tender dan bahkan dapat menggagalkan proyek di tengah jalan.
DPRD DIY: Penjaga Transparansi atau Penonton Saja?
Sementara itu, Haris Sugiharta menegaskan bahwa DPRD tidak hanya menunggu laporan akhir. “Kami terlibat sejak perencanaan. Tapi memang, ruang pengawasan kami belum selalu dioptimalkan,” ujarnya.
Pertanyaan publik pun mencuat: Apakah pengawasan legislatif cukup kuat untuk menekan praktik kolusi dan nepotisme? Haris menyebutkan bahwa beberapa Perda memang sudah mengarah pada peningkatan integritas, namun implementasinya masih menjadi PR besar — terutama di lapangan yang rawan intervensi politik lokal.
Risiko Finansial: Skema Multiyears dan Pahitnya Anggaran Tertunda
Masalah finansial tak kalah pelik. Proyek bernilai besar, seperti pembangunan Gedung DPRD DIY senilai Rp293 miliar (2024), biasanya menggunakan skema multiyears. Tapi seperti diakui oleh Gutik, “Keterlambatan pencairan anggaran bisa merembet ke keterlambatan progres lapangan, bahkan bisa memicu penalti ke kontraktor.”
Itu sebabnya pengelolaan risiko dan fleksibilitas pembiayaan menjadi tantangan berikutnya. Bukan cuma soal anggaran, tetapi juga bagaimana menjaga kepercayaan publik atas proyek yang lambat rampung.
Dari Tender ke Tanah: Politik, Lahan, dan Kontraktor Lokal
Proyek-proyek seperti PPI Gesing (Rp108 miliar, 2022) hingga pembangunan Gedung Psikiatri Terpadu (Rp22 miliar, 2025) tidak hanya menghadapi tantangan teknis, tapi juga sosial.
Dari resistensi warga hingga keterbatasan kontraktor lokal, semua itu harus diatasi dengan komunikasi intensif dan strategi pemberdayaan. Haris mengakui bahwa dorongan kepada penyedia lokal masih kalah oleh dominasi perusahaan besar dari luar daerah. “Kami mendorong kebijakan afirmatif, tapi tetap harus bersaing secara kualitas dan administratif,” katanya.
Inovasi atau Ilusi? Mencari Terobosan Sistemik
Menariknya, dalam sesi akhir podcast, Gutik mengungkapkan adanya rencana pengembangan platform digital baru untuk transparansi pengadaan. “Kami sedang kembangkan dashboard evaluasi real-time. Harapannya, publik bisa pantau sendiri proyek besar — dari awal hingga akhir,” ungkapnya.
DPRD pun menyambut baik inovasi ini. Tapi, menurut Haris, tantangan bukan hanya di teknologi. “Yang terpenting tetap sumber daya manusia dan integritas. Sebaik apapun sistem, tetap bisa jebol kalau niatnya tidak bersih,” tegasnya.
Infrastruktur Besar, Siapa yang Diuntungkan?
Pada akhirnya, pertanyaan utama yang menggema dari podcast ini adalah: Siapa yang benar-benar menikmati manfaat dari proyek-proyek besar ini? Haris menjawab diplomatis, “Indikator keberhasilan bukan hanya selesai tepat waktu, tapi juga ketika masyarakat benar-benar merasa terbantu.”