KRJogja.com, YOGYA - Di tengah gejolak sosial yang melanda negeri, sebuah pertemuan penting yang mempertemukan para tokoh dari berbagai latar belakang digelar di kediaman tokoh spiritual Yogyakarta, Gus Raden Arya Pradana, ST., pada Senin (1/9/2025) malam.
Pertemuan yang berlokasi di Jalan Retno Inten, Kotagede, ini dihadiri oleh jajaran tokoh terkemuka. Tampak hadir Prof. Dr. Phil. K.H. M. Nur Kholis Setiawan yang bertindak sebagai pemantik diskusi, didampingi purnawirawan perwira tinggi TNI Dr. H. Herwin Suparjo, SH, MSi., dan ulama kharismatik Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar (hadir secara daring).
Turut hadir melengkapi forum diskusi, para pemikir dan pemimpin umat dari berbagai daerah, di antaranya DR. KH. Mujab Mashudi, M. Th. I (Robitoh Ma'ahid Islamiyah), Dr. H. Sofia Nur (Ketua Paguyuban Trah Syekh Baidowi, Purworejo), Gus Ki Mujiono Siswocarito (Ketua Paguyuban Dalang Banyumas), Gus Ujang Chanavy (Santripreneur), Dr. Ali Sodiq (Ketua Paguyuban Alumni Jogja, Jawa Timur), Prof. Imam Mahalli (Pesantren Bumi Cendekia, Yogyakarta), K.H Abdul Karim Mahfudz dari Lampung, serta pengusaha Setyo Prajanto dari Yogyakarta.
Gus Raden Arya Pradana menyerukan kepada seluruh elemen bangsa untuk menahan diri dan melakukan introspeksi massal."Seleksi alam dan seleksi Allah saat ini sedang bekerja. Apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai," ujarnya. "Penjarahan rumah petinggi negara mencerminkan betapa kecewanya masyarakat. Ini harus menjadi pijakan agar kita semua menjadi lebih baik lagi," katanya.
Diskusi yang dimoderatori oleh Prof. Nur Kholis Setiawan dengan cepat masuk ke jantung persoalan. Dr. H. Herwin Suparjo, SH, MSi., memberikan analisis tajam dari perspektif pertahanan dan intelijen. Menurutnya, masalah utama bukan terletak pada pemimpin puncak, melainkan pada "ekosistem" politik yang belum sehat.
"Sehebat apapun pemimpin, jika tidak didukung oleh semua komponen secara kolektif, akan berat. Rekrutmen di lembaga eksekutif dan legislatif yang terkadang lebih mengutamakan popularitas atau finansial ketimbang kapabilitas menciptakan ketimpangan kebijakan," jelasnya. (Yud)