Krjogja.com - YOGYA - Di sudut Museum Kedaulatan Rakyat (KR), Yogyakarta, berdiri dua mesin tua yang tak lagi beroperasi, namun justru menyimpan denyut sejarah bangsa. Bagi sebagian orang, keduanya mungkin hanya terlihat seperti besi usang berlapis debu masa lalu.
Namun bagi sejarah pers Indonesia, dua mesin inilah saksi bisu yang pertama kali menghidupkan suara rakyat melalui Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat pada 27 September 1945, hanya empat puluh hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI.
Baca Juga: Harga Pangan dan Perawatan Pribadi Picu Inflasi DIY
“Mesin cetak ini adalah ikon museum kami, bukti bahwa KR lahir dari semangat perjuangan, bukan semata-mata bisnis,” ujar Kepala Museum KR sekaligus Komisaris PT BP Kedaulatan Rakyat, Mohammad Wirmon Samawi SE MIB, Kamis (2/10/2025).
Mesin pertama adalah Intertype, perangkat pracetak manual yang menyusun huruf dan angka menjadi plat cetakan. Inilah proses rumit yang menuntut kesabaran tinggi, jauh dari era digital saat ini. Setelah naskah siap, giliran Heidelberg, mesin cetak buatan Jerman yang kala itu dianggap bergengsi. Mampu melahap hingga seribu lembar dalam satu jam, Heidelberg menjadi tulang punggung distribusi berita yang membakar semangat rakyat.
“Dari Intertype ke Heidelberg, proses cetaknya masih terpisah. Tidak seperti sekarang yang serba cepat dan komputerisasi,” tambah Wirmon.
Baca Juga: Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto : Ibu Mega Dorong Gerakan Nasional Penghijauan
Kehadiran KR tak lepas dari momentum sejarah. Setelah Jepang menyerah dalam Perang Dunia II, harian Sinar Matahari yang dikelola Jepang diambil alih oleh tiga tokoh pers, Samawi, Sumantoro, dan Bramono.
Mereka bersama para pribumi menggenggam kendali, memanfaatkan mesin cetak yang ada, lalu melahirkan nama baru 'Kedaulatan Rakyat'. Nama itu dipilih oleh KPH Mr Soedarisman Poerwokoesoemo (Walikota Yogyakarta).
Isinya jelas, berita perjuangan bangsa mempertahankan kemerdekaan, propaganda melawan kembalinya penjajah, dan dorongan semangat bagi rakyat. “Saat itu KR bukan soal keuntungan. Bahkan rakyat untuk makan saja sulit, apalagi membeli koran. Tapi KR tetap terbit, murni untuk perjuangan,” kenang Direktur Utama PT BP KR, Drs HM Idham Samawi, saat peresmian museum.
Selain dua mesin cetak ikonik, Museum KR juga memajang tiga mesin ketik wartawan yang digunakan pada edisi perdana. Koleksi berlanjut hingga mesin cetak raksasa merek Duplex yang kemudian dijuluki Kyai Duplek pada era 1960-an, simbol perkembangan teknologi pers KR dari waktu ke waktu.
Menurut Ketua Badan Musyawarah Musea (Barahmus) DIY, Dr Hajar Pamadhi, museum KR ini satu-satunya museum surat kabar harian di Indonesia dengan koleksi selengkap itu. “Museum KR bisa menjadi destinasi wisata sejarah, sekaligus memperkuat Yogyakarta sebagai Kota Museum. Akan lebih menarik bila dilengkapi fasilitas pendukung seperti kafe,” ujarnya.
Bagi Wirmon, keberadaan museum dan koleksi mesin cetak bukan sekadar nostalgia. “Semua ini dipajang untuk memberikan gambaran tentang peran KR dalam perjuangan bangsa, terutama sebagai penyulut semangat kemerdekaan dan sarana propaganda pemerintah Indonesia yang baru berdiri,” tegasnya.
Kini, dua mesin bersejarah itu berdiri kokoh di Museum KR, bukan lagi untuk mencetak berita, tetapi untuk mengingatkan generasi penerus bahwa kemerdekaan tidak hanya ditulis di kertas, tetapi dicetak dengan darah, keringat, dan keberanian. (Dev)