Krjogja.com - YOGYA - Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) melakukan penelitian tentang kesehatan masyarakat, khususnya upaya penurunan stunting wilayah DIY. Salah satu yang menjadi fokus yakni soal asupan gizi yang diberikan orang tua kepada balita. Ternyata selama ini masih ada persepsi salah di tengah masyarakat yang menganggap kental manis sebagai susu.
Dalam penelitian ini YAICI menggandeng PP Aisyiyah dengan menyasar 1.000 responden di 4 kabupaten wilayah DIY yakni Bantul, Sleman, Kulonprogo dan Gunungkidul. Program ini juga akan memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa dengan kadar gulanya yang tinggi kental manis tak bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan gizi balita.
Ketua Harian YAICI, Arif Hidayat mengatakan persepsi yang menganggap kental manis sebagai susu sudah kadung terbangun di tengah masyarakat. Pemahaman dan kebiasaan dari orang tua terdahulu memberikan kental manis kepada balita terus mewaris hingga kini sehingga anggapan itu dianggap benar oleh masyarakat.
"Padahal kental manis tak bisa untuk memenuhi kebutuhan gizi menggantikan susu, justru sebaliknya malah membahayakan bagi kesehatan. Kandungan gula kental manis sangat tinggi, sehingga tak bisa disebut sebagai susu," kata Arif Hidayat di Yogyakarta, Rabu (07/06/2023).
Banyak alasan mengapa tak sedikit masyarakat masih memberikan kental manis kepada balita, mulai dari kurangnya edukasi, kebiasaan turun temurun, maupun pola yang tak mendukung di tengah masyarakat. Harga kental manis yang lebih murah dibanding susu formula juga dinilai menjadi salah satu faktor mengapa perilaku masyarakat akan hal itu sulit diubah.
"Di toko-toko masih dijumpai kental manis diletakkan bersama susu formula, sehingga diangap sebagai bagian dari susu. Harganya yang terjangkau juga kemudian dianggap kental manis dapat menggantikan peran susu," imbuhnya.
Fenomena di tengah masyarakat yang menggap kental manis sebagai susu menurutnya harus segera dihilangkan. Apalagi pemerintah telah berkomitmen untuk menekan angka stunting di tanah air hingga dibawah 14%, dimana kini persentasenya masih berada pada kisaran 21%.
Arif Hidayat mengungkapkan, YAICI sengaja berkolaborasi dengan Aisyiyah karena organisasi ini memiliki kader hingga ke masyarakat tingkat bawah. Dengan demikian edukasi kepada masyarakat dapat dilakukan secara menyeluruh dan menyentuh langsung kepada para ibu.
"Hasil dari penelitian ini nantinya akan dijadikan jurnal maupun masukan kepada kementerian atau lembaga terkait lainnya guna menentukan kebijakan kedepan. Khususnya dalam mendukung Indonesia bebas stunting seperti yang dicanangkan pemerintah," jelasnya.
Wakil Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, Chairunnisa menyampaikan Aisyiyah selama ini memang telah konsen dalam bidang kesehatan. Tak hanya stunting saja namun juga permasalahan kesehatan lain seperti ibu melahirkan dan menyusui, lansia maupun pencegahan penyakit menjadi perhatian utamanya.
"Kami di Aisyiyah memiliki gerakan 'Aisyiyah Sehat' yang secara menyeluruh menyoroti semua masalah kesehatan di tengah masyarakat. Mengapa Aisyiyah konsen di sana, karena ini menyangkut masalah kualitas manusia Indonesia kedepannya. Jika tidak diatasi maka akan menjadi kendala bagi bangsa," katanya.
Ia berharap masalah stunting dapat segera diatasi, terlebih dalam menghadapi 'Indonesia Emas' tahun 2045. Generasi bangsa harus sehat serta berkualitas, dan itu semua harus dilakukan sedari sekarang. (*)