yogyakarta

Relawan TRC Curhat, Bingung Makamkan Jenazah Covid Atau Tolong Pasien Sekarat

Kamis, 1 Juli 2021 | 12:10 WIB
Pristiawan saat berikan keterangan pada media.

YOGYA, KRJOGJA.com - Suara Komandan TRC BPBD DIY, Wahyu Pristiawan Buntoro bergetar saat menceritakan beberapa hari lalu ada pasangan suami istri datang ke markas TRC BPBD DIY di Jalan Kenari Yogyakarta. Suami istri itu meminta tolong tim TRC membawa ibunya yang kondisinya mulai menurun dengan status positif Covid.

Prist mengungkap kebingungan yang dihadapi tim di lapangan atas situasi lonjakan pasien positif Covid-19 sejak Juni 2021. Relawan kini benar-benar terkuras rasa dan fisik karena pemakaman protokol Covid meningkat ditambah permintaan masyarakat untuk mengantarkan pasien positif ke rumah sakit yang kian bermunculan.

“Kemarin kami menemui, jam 11 malam ada suami istri datang ke Kenari (BPBD DIY) hanya memohon untuk diantarkan ke rumah sakit, karena ibunya sekarat, dari pagi sudah mencari rumah sakit mereka tidak dapat padahal kondisi ibunya semakin menurun. Ini yang saat ini kami hadapi di lapangan,” ungkap Prist pada wartawan secara daring, Kamis (1/7/2021).

Prist juga menyampaikan data bahwa sepanjang 29 Juni hingga 30 Juni kemarin, tak sampai 24 jam, tim pemakaman Covid sudah melaksanakan kegiatan pemakaman sampai 100 kali. Tak hanya dari rumah sakit, warga meninggal juga dijemput di rumah dengan situasi sedang melakukan isolasi mandiri.

“Penularan sudah terjadi dengan cepat mau itu varian baru atau apa tapi kenyataan seperti itu dan rumah sakit crowded, maka kemudian bebannya sampai ke puskesmas. Ketika mereka buntu dan malah jadi sasaran kekesalan masyarakat akhirnya mana yang dirujuk, mana isoman sudah tidak tahu lagi. Yang harus dirujuk diminta isoman, tapi ketika dibawa ke rumah sakitpun sudah over, diperparah keterbatasan peralatan pendukung akhirnya tak tertangani maksimal,” sambung Pristiawan.

Relawan kini memiliki beban ganda yang harus dijalankan yakni menghadapi permintaan masyarakat bantuan ambulance juga pemakaman protokol Covid. Hal itu membuat para relawan mengalami beban berkecamuk di hati dan pikiran yang sampai-sampai membuat mereka kebingungan untuk bersikap.

“Hampir dua hari ini armada 119 tak banyak bergerak karena sudah ndak ngerti lagi. Di Sleman sudah 7 rumah sakit yang tak bisa lagi menerima akhirnya ketika tim membawa ya diletakkan di selasar Sardjuto. Ini beban bagi relawan ketika membawa pasien harus memperjuangkan semaksimal mungkin dan mempertanggungjawabkan sampai lokasi rumah sakit tujuan dalam kondisi hidup. Situasi ini tidak mudah namun relawan yang kadang malah mendapat caci maki, dianggap tak mampu padahal tidak sesederhana itu,” lanjut dia.

Koordinator Relawan Gunungkidul, Agus Kenyung, menyampaikan hal senada di mana para relawan bergerak tanpa komando dan koordinasi dari Pemkab Gunungkidul atau instansi pemerintahan. Relawan dari berbagai potensi bergerak mandiri dengan berpedoman pada sisi kemanusiaan.

Para relawan menemukan banyak kejadian menguras rasa dalam beberapa hari terakhir, seperti membawa pasien positif dengan penurunan kondisi hingga akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit. Di sisi lain, mereka harus berjuang dengan keterbatasan peralatan keselamatan Alat Pelindung Diri (APD) yang kian menipis.

“Beberapa hari lalu, ada dua pasien yang meninggal di depan rumah sakit, satu ketika mau dipasang oxymeter sudah tidak ada. Sebelumnya juga ada satu begitu. Mereka ini pasien isoman yang kondisinya memburuk, tapi sampai di rumah sakit juga traffic jadi memang begitu kondisi yang kami hadapi,” ungkapnya.

Di Gunungkidul, relawan banyak bersiaga di tiga kapanewon yang jumlah kasusnya meningkat yakni Semanu, Playen dan Tepus. Mereka kini hanya bisa berfokus pada pelayanan penghantaran pasien sakit ke rumah sakit dan tak lagi sanggup melayani permintaan pemulasaraan jenazah pasien positif.

Halaman:

Tags

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB