yogyakarta

Gedung DPRD DIY Dulu Disebut 'Gedung Setan', Ini Sebabnya

Kamis, 11 Maret 2021 | 15:25 WIB
Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY bergaya indis model empire style dengan tiang bulat stereotipe model dorik. KRJOGJA.com - WULAN YANUARWATI

YOGYA, KRJOGJA.com - Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY yang terletak di Jalan Malioboro dibangun pada tahun 1878 oleh perkumpulan orang Belanda (Vrijmetselarij) di Yogyakarta. Bangunan dipergunakan untuk pertemuan kaum mason.

Bangunan dikenal sebagai Loge/ Loji Mataram atau Loji Mason. Sedangkan masyarakat setempat pada waktu itu menyebutnya sebagai Gedung Setan karena upacara penerimaan anggota baru mason selalu diliputi kerahasiaan dan upacara tertentu, dalam bahasa Belanda disebut Huis Van Overdenking atau dalam Bahasa Jawa disebut Omah Pewangsitan.

Abdurrachman Surjomihardjo dalam bukunya Kota Yogyakarta Tempo Doeloe menyebut istilah kemasonan dipakai untuk mengartikan kata freemasonry atau vrijmetselarij dalam bahasa Belanda.

Gerakan tersebut merupakan aliran pembebasan pikiran yang menerima sesama manusia dalam kedudukan dan kesempatan yang sama yakni tanpa membedakan bangsa, warna kulit, dan agama. Bertujuan untuk ikut serta dalam proses perkembangan suatu bangsa dan negara secara serasi.

Presentase keanggotaannya terdiri dari 54,35 persen pegawai pemerintahan, 21,74 persen adalah para ahli (hukum, insinyur,dll), 17,39 persen dokter, dan 6,52 persen pembesar Kraton.

Sejak akhir abad ke-19, gerakan tersebut mulai menarik perhatian para bangsawan pribumi di lingkungan keluarga Paku Alam. Diawali dengan Paku Alam V yang menjadi anggota mason, diikuti Paku Alam VI dan Paku Alam VII.

Bahkan, KPH Notodirdjo dikenal sebagai anggota mason yang cakap dalam mengutarakan pendapatnya dalam Bahasa Belanda. Dia mengutarakan pendapatnya agar meningkatkan pengajaran dan pendidikan bagi bumiputra pada sebuah kongres kaum mason pada bulan Desember 1911 di Jakarta.

Sedangkan orang Cina pertama yang menjadi anggota mason ialah Ko Hok Sing pada 7 Februari 1871. Meskipun tidak bisa berbahasa Belanda, dia diterima karena dianggap mampu dan menguasai ajaran Kong Hu Cu. Keluarga Ko tercatat sebagai anggota yang banyak membantu kegiatan memajukan Loji Mataram.

Dalam perkembangannya, bangunan dialihfungsikan menjadi fasilitas organisasi sosial politik pada tahun 1948-1950. Pada 2 September 1948, terdapat peristiwa sejarah di gedung tersebut yakni pencentusan politik luar negeri bebas aktif oleh Bung Hatta. Pada saat itu, Yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia.

Setelah ibu kota kembali ke Jakarta pada 1949, maka pada tahun 1951, pihak Kasultanan menyerahkan pemakaian gedung kepada pemerintah daerah untuk dijadikan Gedung DPRD DIY dan hingga saat ini masih digunakan sebagai ruang rapat paripurna. (M-1).

Tags

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB