KEBIASAN baru di era pandemi Covid-19, memunculkan tatanan baru. Pun ketakutan. Begitu analisis Nasirun, pelukis kondang yang tinggal di Bayeman Permai Yogyakarta.
"Kebiasaan baru bagi seniman adalah takut. Tidak berjarak semeter, takut. Jabat tangan jadi bukan budaya kita lagi. Ada tatanan baru, kebiasaan baru. Masalahnya, apakah ‘sangu’ kebudayaan kita sudah banyak menghadapi itu? Masa ini ujian bagi seniman," papar maestro lukis yang dikenal semanak dan merakyat.
Di mata sarjana seni lukis ISI Yogya itu, kondisi sekarang adalah ujung kristalisasi. Nasirun yakin dunia yang tidak normal banyak yang tidak normal, termasuk dirinya. Memasuki pranata baru.
"Mengkhawatirkan sekali. Lima atau sepuluh tahun lagi kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi. Saya miris sekali. Bisa-bisa anak keluar dari mal. Atau kalau masuk mal harus pakai barcode, yang membuat saya tidak bisa masuk. Lha handphone saja tidak punya," terang bapak tiga anak itu.
Pandemi membikin gagap seniman. Tidak siap menghadapi. Seniman asal Doplang Adipala Cilacap ini mengambil contoh kebiasaan di Malioboro Yogya tahun 70-80-an. "Dulu seniman digugah dari tidurnya, diminta baca puisi, mereka akan melakukannya. Padahal tidak ada yang nonton, tidak dibayar. Kini itu terjadi, baca puisi tidak ada yang nonton, tidak dibayar. Ada seniman yang tidak mau. Karena terbiasa ditonton banyak orang, atau dibayar," ungkap Nasirun yang rela diisolasi fisik namun imajinasinya tidak.
Tetap berkarya di masa pandemi. Jadwal kerjanya teratur. Nasirun barusan menyelesaikan lukisan yang panjangnya 14 meter. Lukisan itu hasil 'mengawal' Covid-19. Membaca tanda zaman. Obsesinya, lukisan itu digelar dan hanya ada satu orang yang datang sambil membaca puisi, yaitu penyair Joko Pinurbo.
"Joko Pinurbo sudah siap?"
"Saya belum kenal Joko Pinurbo. Pernah ketemu di tempat Pak Djoko Pekik dan Rama Sindhu. Ngobrol langsung belum. Hahaha..." papar Nasirun yang senang humor.
"Saya tidak boleh keluar (rumah selama pandemi) oleh anak saya. Karena ketawa saya keras. Takut ada yang tersinggung. Hahaha..." tambahnya.
Tak terpikir menjadi seniman. Terlebih kondang dan kaya. Awalnya ingin jadi transmigran seperti kakak-kakaknya. Nasirun anak keenam dari tujuh bersaudara pasangan Sam Rustam-Supiyah. Kakak-kakaknya, kata Nasirun, buta huruf. Hanya ia dan adiknya yang sekolah tinggi. Adiknya kini jadi polisi.
"Saya juga heran, kok lulus (sekolah). Kalau tidak, paling golek cethul (di kampungnya)," tandas suami Illah itu.
Saat reuni dengan teman masa lalu di kampung halaman: Cilacap, tak banyak yang tahu profesi Nasirun. Nasirun juga tak pernah cerita aktivitasnya. Di ajang reuni tersebut, Nasirun jadi bahan olok-olokan karena tidak punya handphone. "Hari gini tak bisa SMS-an," olok temannya. Nasirun hanya tertawa.
Kisah kedua, kakaknya yang transmigran datang dan melihat Nasirun melukis, bertanya: "Berapa hasil dari nglukis?"
"Saya jawab, lima puluh ribu rupiah sehari. Hahaha.... Dan Kakak saya bilang lumayan. Hahaha..." kenang Nasirun.