yogyakarta

Nasirun, Pandemi Bikin Seniman Gagap

Jumat, 6 November 2020 | 05:07 WIB
Nasirum. (Foto : Latief Noor Rochmans)

Seniman ulet ini memang senang bercanda sejak dulu. Maka dalam obrolan sehari-hari, kalimat canda kadang menguar. Namun di balik sikap sederhana dan suka guyon, mengalir kecerdasan, pun pemikiran filsafat tinggi. Mengaku tidak menggunakan handphone dan tak pernah membaca media cetak dan daring, tapi diksi yang ucapkan Nasirun jelas menyiratkan intelektualitas.

Salah satu amsal, saat ditanya tentang seniman yang terdampak wabah corona, Nasirun menjawab filosofis: "Kalau menengok ke bawah tidak akan terasa (terdampak). Tapi kan kita selalu mendatar dan ke atas. Tidak hanya seniman yang kolaps," ujarnya.

Nasirun tak pernah mau berurusan hal rumit. Baginya, hidup adalah melukis. Sejak 1997, akunya, tidak pernah mengurus hal duniawi. Istri, anak, dan staf yang mengurus semua.

Ia juga tak pernah merasa dirinya hebat, meski banyak yang mengakui. Banyak lukisannya diteliti profesor-profesor dunia. Dan itu tak berpengaruh pada pemikiran dan penampilan Nasirun.

Sebagai orang terkenal, terlebih berlabel maestro, tentu tidak mudah menggelar pameran. Banyak pertimbangan yang salah satunya berlatar prestise. Tapi Nasirun tidak.

"Saya akan pameran (lukisan) di bank lagi. Mereka yang meminta. Saya tak pernah mikir akan pameran dengan siapa dan di mana. Di RT juga nggak masalah. Asal big bos (Tuhan) memberi kekuatan. Saya tak pernah mikir nama dan ekonomi. Bukan tujuan. Bila senang profesi, akan istikomah. Akan bekerja dengan senang," papar seniman yang bernama asli Mashuri. Ketika kecil sering sakit, diganti menjadi Nasirun. Dan ternyata membawa keberuntungan.

Tanggal kelahiran Nasirun juga tidak asli. Lahir pada 1 Oktober 1963. Setelah lulus madrasah ibtidaiyah, ditanya akan melanjutkan ke MTs atau SMP. Karena memilih SMP, tanggal kelahiran dimudakan jadi 1 Oktober 1965. Agar tidak terlalu tua. Mengikuti syarat pendaftaran.

Tak hanya serius berkarya. Nasirun mencatat ada dua hal yang bisa mendukung profesinya. Yaitu membangun koneksi dan tepat waktu.

"Karena yang dihadapi patron bisnis. Maka saya ada yang memanajeri. Gaya sithik kayak dunia dangdut. Hahaha..." tegasnya.

Pujian terhadap karya lukisnya disikapi plastis dan rendah hati. Nasirun mengaku, mungkin karya-karyanya tersebut merupakan 'lukisan' ibunya yang tidak terwujud, dan ia hanya mewarisi. Melukis membuat Nasirun bahagia. Bisa curhat kegundahan, keharuan, bahkan jatuh cinta.

Ia menikmati kesehariannya yang bebas. Baginya, kemerdekaan sesuatu banget.

Ada alasan khusus mengapa ia tidak mau ribet hal duniawi. "Ada staf yang mengurus semua. Juga anak saya. Istri juga yang bayar listrik. Saya tidur saja. Hahaha.... Tapi memang, kekayaan materi merupakan alat efektif. Jika saya dikasih banyak, tidak saya atas namakan anak istri, bisa kenthir saya. Bisa dibawa ke Pakem. Hahaha..." canda bapaknya Ima Bunga Insan Sani, Yudhistira Nurul Azmi, dan Nawarna Ratna Mutu Manikam itu.

Tentang seniman yang diajak Presiden Jokowi menangani Covid-19, Nasirun menyebut kategori seniman agak bergeser saat ini. Kaum artis yang populis dianggap seniman. Padahal di zaman Presiden Sukarno, seniman patron negara. "Kini salah kaprah. Bintang sinetron, penyanyi, adalah seniman. Berkait popularitas. Apa-apa dialihkan pariwisata. Mimpi kebudayaan sebagai panglima, itu sulit diwujudkan," ujar pengagum Affandi yang selama pandemi ini laris jadi tamu obrolan daring.

Masuk Yogya tahun 1983. Nasirun remaja kerja di di Gondang Lengis Tempel Sleman. Menanam terong dan camcau. Ia senang sekali karena dapat makan. Bahkan ia bisa menyombongkan diri ke keluarga di rumah (Cilacap), dirinya aman (karena sudah ada yang memberi makan). Sambil kerja ia kuliah. Juga jualan kartu Natal, Lebaran, dan ulangtahun di Malioboro. Tidurnya di depan Senisono.

Perjalanan panjang yang pernah dilalui, di mata Nasirun adalah deposit. Modal menghadapi hidup masa depan.

Halaman:

Tags

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB