yogyakarta

Alih Fungsi Lahan Marak, Kedaulatan Pangan di DIY Terancam

Rabu, 9 September 2020 | 23:10 WIB
Diskusi Editorial KR di kanal YouTube Kedaulatan Rakyat TV, menghadirkan Guru Besar Ekonomi Pertanian dan Agribisnis UGM, Prof Dr Ir Dwijono Hadi Darmanto, dipandu oleh Redpel KR Primaswolo Sujono.(YouTube)

YOGYA, KRJOGJA.com - Laju alih fungsi lahan sawah di DIY mencapai 0,4% atau rata-rata 237,14 hektare (ha) pertahun. Kondisi itu berdampak pada makin banyaknya petani yang keluar dari sektor pertanian, sehingga mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan DIY. Kesejahteraan petani menjadi faktor kunci untuk mempertahankan lahan pertanian pangan berkelanjutan di DIY.

Hal itu terungkap dalam diskusi Editorial KR yang tayang di kanal YouTube Kedaulatan Rakyat TV, Rabu (9/9/2020). Diskusi menghadirkan pembicara Guru Besar Ekonomi Pertanian dan Agribisnis UGM, Prof Dr Ir Dwijono Hadi Darmanto, dipandu oleh Redpel KR Primaswolo Sujono.

"Sensus pertanian oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, lebih dari 18 persen petani secara nasional keluar dari sektor pertanian, alias berhenti bertani. Selain berdampak pada berkurangnya petani, alih fungsi lahan mengancam ketahanan pangan, karena 80% petani kita bekerja di bidang pertanian pangan," ungkap Dwijono.

Mengingat dampak serius ancaman kurangnya produksi pangan akibat pengurangan lahan, maka adanya Perda tentang Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) sangat krusial. Peraturan itu harus mendorong kesejahteraan petani sehingga mereka mau mempertahankan lahan pertanian.

"Pokok masalah lahan pangan berkelanjutan ini kan petani butuh duit. Alih fungsi tetap berjalan karena desakan kebutuhan uang tunai, sehingga mereka jual sawah. Ini yang harus diatasi," ujarnya.

Sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan petani, Dwijono mengusulkan sistem korporasi lahan petani. Pilot project sistem tersebut dicoba di Bantul dengan luasan sekitar 7 hektare.

"Dalam sistem ini, dari sekian puluh petani, lahannya dijadikan satu lalu dikelola oleh satu orang. Petani yang lain hanya memiliki, tapi nanti dia mendapatkan uang panen. Atau kalau si petani tetap bekerja di situ maka dia akan mendapat upah. Untuk petani pengelola harus dipilih yang benar dan jujur," terangnya.

Dwijono mengakui adanya tantangan dalam model korporasi tersebut, terutama terkait apakah nanti petani itu bisa memperoleh pendapatan yang layak. Dalam hal ini petani pengelola korporasi juga harus bisa menjadi pengusaha yang piawai dalam pemasaran.

"Secara teori, kalau nanti hasilnya luas dan banyak, petani yang mengerjakan korporasi akan punya posisi tawar. Dengan jalur pemasaran dan barang yang bayak, itu kan jadi naik daya tawarnya. Lalu harapannya akan dapat harga yang lebih baik, sehingga dia bisa membagi ke petani dengan harga yang bagus pula," urai Dwijono.

Ditambahkannya, upaya mempertahankan lahan pangan berkelanjutan juga perlu dilakukan dengan memberikan talangan bagi petani selama musim produksi. Pinjaman pada petani untuk 'living cost' itu bisa dialokasikan pemerintah dari Dana Desa, kredit untuk rakyat, maupun sumber alternatif lainnya.(Bro)

Tags

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB