SLEMAN, KRJOGJA.com - Perjuangan menjadi seorang atlet ternyata begitu berat dan melelahkan, bahkan tidak jarang menyakiti hati. Begitulah kiranya pengalaman yang dilalui Supriyono (52) warga asli Penumping Gowongan Lor Kota Yogyakarta yang kini berprofesi sebagai juru parkir sekaligus pelatih tinju.
Bapak tiga anak yang pada era 80-an akhir menjadi petinju dan sempat berprestasi hingga tingkat internasional ini ternyata tidak seberuntung rekannya yang lain. Betapa tidak, Supri begitu ia akrab disapa dipaksa gantung sarung tinju di masa usia emas 24 tahuh tepat periode 1990 lalu.
Cidera mata saat menjalani sparing persiapan Kejuaraan Nasional tahun 1990 di Sasana TMBC Gowongan menjadi titik balik selesainya karier Supri yang tiga tahun sebelumnya selalu meraih medali di ajang-ajang tingkat nasional. Mata kanannya kehilangan kemampuan melihat karena kontak pukulan lawan tandingnya.
Berita terkait:
Pantang Iri Dengan 'Atlet Zaman Now', Supri Tetap Semangat Melatih Tinju
Latihan keras 14 kali dalam seminggu yang selalu dilakukannya sejak usia belasan tahun seolah begitu saja selesai. Mengiringi kekecewaan hilangnya kesempatan menempati satu tempat di Pelatnas tahun 1990 karena faktor kedekatan petinju lain kala itu.
KRjogja.com berkesempatan mengobrol dengan Supriyono yang kini juga melatih cabang tinju Porda Kota Yogyakarta dan privat di Jogja Jiujitsu Academy di rumah kontrakan sederhana kawasan Prayan Depok Sleman. Rumah kontrakan berdinding anyaman bambu itu ternyata juga telah habis masanya, Supri bersama tiga anak dan seorang istri harus menumpang di kediaman kerabat karena tak lagi bisa meneruskan sewa.
Penghasilannya melatih dan menjadi juru parkir dijalan Diponegoro semenjak dipaksa pensiun bertinju 28 tahun silam tak cukup untuk membeli rumah pribadi. Lima medali emas, tujuh medali perak dan satu perunggu yang didapat selama karier bertinju pun tak bisa ‘ditukar’ sepetak lahan saja untuk dijadikan istana bagi keluarganya.