DINAMIKA kehidupan manusia yang sudah terkontaminasi dengan kemajuan teknologi informasi memberi inspirasi bagi maestro tari Yogyakarta, Martinus Miroto untuk menghasilkan karya kreasi Tari Transmedia yang diberi judul Body in Between. Karya ini sangat tergantung dengan adanya jaringan internet. Seperti halnya keseharian manusia sekarang yang tidak bisa lepas dari dunia maya.
"Bukan cuma di Yogya atau Indonesia. Saya lihat di Amerika, Eropa, semua sama. Orang cuma menunduk. Mereka bisa bertahan dalam posisi yang sama selama berjam-jam. Hanya gerakan-gerakan kecil yang dilakukan selama berjam-jam berhadapan dengan gadget dan berselancar di dunia maya," ucap Miroto kepada KRjogja.com, akhir pekan lalu.
Fenomena inilah yang terus bergelayut di pikiran Miroto. Bahwa seolah seseorang sudah sampai ke mana-mana ketika memegang gadget. Padahal fisiknya sama sekali tidak beranjak dari tempat semua. Seolah pula ia mampu memecahkan semua masalah, meski sebenarnya hanya realitas semu yang didapat.
"Mengengok ke belakang saat penciptaan tari klasik, gerakan penari atau orang begitu lambat. Tapi dibalik kelambatannya ada konsentrasi penuh dan ketenangan jiwa. Sedang sekarang, gerakan lambat tapi pikirannya cepat. Hal ini yang menjadikan orang kurang gerak dan tidak sehat," sebut Miroto.
Sedang kejadian ini ia rekam dalam karya Transmedia yang bertumpu pada kekuatan internet. Mengolaborasikan dunia nyata dan maya dalam satu kesatuan waktu dan gerak menghasilkan pertunjukan teater tari Realitas Teleholografis. Penari nyata tampil secara bersamaan dengan penari lain di beberapa negara, seperti Taipei, Tokyo dan New York.
"Lahirnya awal memang dengan media hologram. Lebih pada perekaman karya untuk kemudian dihadirkan dalam waktu bersamaan. Tapi sejalan waktu, akhirnya dihadirkan secara bersamaan secara langsung dengan kekuatan utama di jaringan internet. Inilah Transmedia. Bukan cuma sebuah pertunjukan tari semata," tegas Miroto.
Meski benar-benar memanfaatkan teknologi moderen di era globalisasi, tapi Miroto tetap mengaku menggunakan benang merah tari tradisional. Tiga tahun karya ini akhirnya bisa dihadirkan ke tengah masyarakat. Pertama di Jakarta, selanjutnya Bandung. Tahun depan rencana tampil di Yogya. Sekaligus menunjukkan bahwa geliat tari kreasi dan kontemporer di Yogya tetap ada dan terus melakukan pencarian karya-karya baru," ucap Miroto. (Febriyanto)