YOGYA (KRjogja.com) - Potensi wakaf di Indonesia, termasuk adanya tanah wakaf yang banyak digunakan untuk membangun tempat peribadatan dan kegiatan, seperti masjid, pondok pesantren dan lembaga lainnya perlu dimanfaatkan secara profesional. Hal tersebut untuk meningkatkan produktivitas wakaf tersebut yang akhirnya digunakan sebagai upaya mensejahterakan umat.
Hanya saja sayangnya, sebagian tanah wakaf yang berada di pusat kota yang banyak didirikan masjid belum dikelola secara produktif. Kendala yang ada, pengelolaannya masih menganut mazhab pelepah kurma atau tradisional. Selain itu tidak sedikit tanah wakaf yang belum disyahkan kepemilikannya sehingga memiliki potensi bermasalah di kemudian hari.
"Tanah wakaf di pusat kota berpotensi ditukar gulung kaum kapitalis," tegas Direktur Eksekutif BWI Drs H Ahmad Djunaidi MBA dalam Seminar Nasional Pemberdayaan Zakat Infaq Sodaqoh dan Wakaf Uang yang digelar Dewan Masjid Indonesia (DMI) DIY di LYNN Hotel Yogyakarta, Senin (3/10).
Kerawanan yang ada terkait tanah wakaf tersebut karena kebanyakan orang Islam tidak siap dengan perkembangan. Selain itu tidak sedikit yang masih menganut mazhab pelepah kurma yang artinya mempertahankan naluri tradisional, begitu juga nazhir juga masih memegang tradisional dan bersifat konsumtif.
"Dengan latar belakang itu, banyak tanah wakaf yang ada di lokasi strategis tidak diproduktifkan. Misalnya saja di samping masjid ada bangunan tingkat lima. Ya masjid harus dibuat paling tidak tingkat tiga. Produktifkan untuk kegiatan kemaslahatan umat," lanjutnya. Dikatakan Djunaidi, tercatat di Indonesia luaan tanah wakaf mencapai 4.142 kilometer persegi. Luas ini jauh lebih luas dibanding wilayah Jakarta maupun negara Singapura. Itupun kata Djunaidi baru yang dilaporkan. Sedang yang belum dilaporkan masih ada lipat dua dari luas tersebut. (R-7)