Krjogja.com - YOGYA - Belum lama ini beredar vidio sekelompok orang mendatangi Kantor Pertanahan Yogyakarta. Ia protes dan menuntut soal hak kepemilikan atas tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Hal tersebut mendapat tanggapan dari masyarakat di Yogyakarta, bahkan menyayangkan sikap salah satu oknum tersebut. Salah satunya datang dari pembina antar lintas ormas di Yogyakarta, R Yogo Tri Handoko SH.
"DIY ini memiliki keistimewaan dalam berbagai aspek, dari kultur, budaya, termasuk regulasi terkait kepemilikan tanah. Semua itu ada sejarahnya," kata Yogo, Selasa (10/10/2023).
Hal tersebut tentunya membuat resah anggota lintas ormas di Yogyakarta, atas tindakan orang tersebut yang tidak mematuhi aturan, budaya dan kultur. Bahkan orang itu juga tidak mengetahui sejarahnya.
"Jangan sampai peristiwa itu menimbulkan perpecahan, sehingga terjadi sara dan rasis di Yogyakarta. Mari kita ciptakan Yogya ini yang aman, nyaman, bersaudara," jelasnya.
Namun demikian, mereka masih diperbolehkan memiliki Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan (HGB). Aturan ini memiliki latar belakang sejarah panjang yang erat kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Yoga yang juga Advokad ini menceritakan, mendiang Sri Sultan HB IX, Raja Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur DIY masa itu dikenal sebagai pemimpin yang merakyat dan dicintai rakyatnya. Sejarah mencatat pada tahun 1948 saat Agresi Militer II Belanda, salah satu etnis di Yogyakarta dinilai berpihak dan memberikan dukungan kepada Belanda yang sebelumnya telah menjajah Indonesia.
Akibat tindakan itu, Sultan HB IX lalu mencabut hak kepemilikan tanah bagi etnis tersebtu di Yogyakarta. Namun, Sultan HB IX tetap mempersilakan warga keturunan untuk tetap tinggal di Yogyakarta. "Mereka tetap boleh tinggal namun dengan syarat mereka tidak memiliki hak milik atas tanah," jelasnya
Aturan ini berlaku hingga saat ini sebagai bagian dari keistimewaan DIY. Tahun 1975, Paku Alam VII menerbitkan surat instruksi kepada bupati dan walikota untuk tidak memberikan surat hak milik tanah ke warga negara non-pribumi.
Surat ini mengizinkan warga keturunan memiliki tanah dengan status HGB, bukan Sertipikat Hak Milik (SHM). Aturan ini telah beberapa kali digugat oleh kalangan investor dengan dalih dianggap rasis dan tidak adil.
Untuk itu, ia menghimbau anggota lintas ormas dan masyarakat di Yogyakarta tidak terpancing dengan peristiwa itu. Yoga menegaskan, karena hal tersebut dilakukan oleh orang yang tidak mewakili kelompok.
"Sekali lagi itu hanya oknum, jangan sampai terpancing isu sara, etnis dan lainnya sehingga terjadi kegaduhan atas kejadian itu. Terlebih ini tahun politik, saya tidak mau ini ada muatan politik," tegasnya.
Yoga menambahkan, Yogyakarta berbeda dengan daerah lain. Oleh karena itu Yogyakarta memiliki ketentuan dan aturan sesuai dengan UU keistimewaan Yogyakarta. (*)