KRjogja.com, YOGYA - Kondisi pasar global yang menuru membuat kapasitas perusahaan ekspor industri tekstil di Tanah Air, termasuk DIY mengalami penurunan setidaknya 50 persen.
Sedangkan negara-negara pengekspor ke Eropa dan Amerika sendiri otomatis membutuhkan market untuk membuang barang mereka. Sebelumnya sudah muncul gelombang pemutusan hubungam.kerja (PHK) di Indonesia sejak tahun lalu, maka market lokal yang seharusnya dijaga.
Ketua Badan Pengurus Provinsi (BPP) Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY Iwan Susanto mengatakan tantangan terakhir yang cukup mempengaruhi adalah munculnya isu TikTok di Tanah Abang membuat kondisi industri tekstil memprihatinkan.
Kenyataan yang terjadi banyak baju-baju bekas impor yang masuk, namun hanya sebagian kecil. Sebetulnya yang banyak adalah impor ilegal yang disinyalir menggunakan jalur TikTok untuk masuk kesitu Negara salah satunya Indonesia.
' Itu ada plus minusnya karena kondisi saat ini TikTok dijadikan sebagai jalur jualan beberapa customer kita yang memang kuat. Tetapi untuk jangka panjang, kita harus betul-betul lebih menjaga market domestik dari gempuran impor ilegal. Terus terang, kita butuh support dari Pemerintah lebih maksimal, karena benar -benar kita dihabisin," kata Iwan di Yogyakarta, Kamis (19/10).
Iwan mengungkap daya beli masyarakat menurun diperparah dengan gempuran sesama importir. Alhasil kondisi tersebut membuat market tekstil sangat kacau sekali dengan segmen pasar yang tersisa sangat sedikit dan diperebutkan olah banyak perusahaan tekstil. Intinya perusahaan tekstil ini harus mempunyai strategi dalam hal mampu bersaing, khususnya dukungan terhadap UKM tekstil di DIY.
" Kita harus berpikir untuk bangkit apalagi menjelang Lebaran, jadi kita masih menunggu momen bergeraknya seperti apa? Market yang tersisa adalah pasar lokal atau domestik meskipun daya beli konsumen menengah ke bawah turun tetapi populasi kita beras serta segmen menengah ke atas masih ada pergerakan tapi jangan sampai diisi penetrasi barang impor, maka habislah kita,' terang Iwan.
Lebih lanjut, Iwan menyatakan pemerintah berencana akan memberikan insentif dan lain sebagainya kepada perusahaan tekstil baru-baru ini. Namun pihaknya masih menunggu realisasinya meskipun termasuk sudah sangat terlambat karena pengusaha dan UKM tekstil sudah berdarah-darah.
" Berbicara kain ada beberapa jenis utama yakni katun yang sepenuhnya impor bahan baku, rayon hampir stuck berhenti karena gempuran impor padahal notabene material kita kuat. Belum lagi perang dagang telah terjadi sejak pandemi. China sendiri produk tekstil tinggal 20 persen dan sedang tidak bagus. Dengan kondisi ini, maka pertanyaannya negara mana yang dijadikan tempat membuang?," tandas Iwan.
Menurut Iwan, Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi tempat pembuangan kalau tidak kondisi industri tekstil di Tanah Air tidaklah separah ini. Untuk itu, pihaknya berharap pemerintah dari sisi aturan harus dibenahi. Disisi lain produk tekstil ilegal sudah bocor parah. Regulasi masih terus digodok pemerintah dan sangat lambat. Selain itu butuh kerja sama semua lini untuk memeranginya.
" Sekarang kan sedang konstelasi politik, kita berharap ada cipratan. Kita sendiri melihat sekarang belum dapat membaca situasi saat ini. Kita belum merasakan euforia order untuk Pemilu sampai detik ini. Padahal biasanya permintaan itu sudah ada ditambah dengan Lebaran. Jadi mau tak mau semua harus berpikir bertahan dan mengatur segalanya dengan lebih efisien serta produktif. Ditambah realisasi kebijakan pemerintah khususnya insentif tekstil masih kita tunggu,' pungkas Iwan. (Ira)