Krjogja.com - SLEMAN - Pemilu 2024 memasuki fase akhirnya. Sebuah momen politik nasional yang menimbulkan perdebatan, polemik, hingga perlawanan sosial di tengah masyarakat.
Di tengah masyarakat, tegangan itu muncul antara kelompok pendukung dan penolak para kandidat, sebuah tegangan yang cukup intensif dan rentan memicu gesekan dan konflik sosial. Sementara itu ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara pemilu dan pemerintah semakin meningkat mengingat adanya kecurigaan atas kecurangan yang berlangsung secara masif dan sistematis.
Kerentanan itu di masyarakat itu terbentuk dan menguat bukan semata-mata disebabkan oleh kompleksitas penyelenggaraan pemilu dan dinamika politik yang terjadi. Selain itu juga kekaburan informasi di sepanjang masa penyelenggaraan pemilu ini juga sangat mungkin terjadi.
Baca Juga: Mengenal Bumbu Pawon Yang Tetap Eksis dan Menantang Bumbu Pabrik
Fitria Indri Kesumawati, Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) DIY mengatakan hoaks dan ujaran kebencian adalah amplifikator tegangan politik yang sangat berpengaruh pada dinamika masyarakat dan kualitas pemahaman publik. Distorsi informasi publik melahirkan distorsi pada kesadaran dan pemahaman publik pula, yang akhirnya menjelma menjadi tegangan dan konfik sosial.
"Kami mencatat hingga akhir Januari 2024 ditemukan hoaks politik sebanyak 1292 kasus dari total 2.330 hoaks selama tahun 2023. Hoaks pemilu 2024 sendiri ditemukan sejumlah 645 di hoaks yang ada. Hoaks politik 2024 ini dua kali lipat lebih banyak daripada hoaks sejenis pada musim Pemilu 2019 sebanyak 644," ungkapnya dalam Diskusi dan Seminar Gotong Royong Melawan Hoax, Minggu (3/3/2024).
Fitria menyebut saat ini pembuat hoaks memiliki motivasi beragam mulai ekonomi, politik, sosial hingga individu. Ia menyebut masih sangat banyak hoaks yang tersebar dan tak bisa diverifikasi karena sebaran informasi yang sangat luas dengan berbagai platform.
"MAFINDO melihat platform media sosial semakin banyak, orang yang membuat hoaks pun semakin banyak motifnya. Saat ini di masa setelah pencoblosan pun hoaks masih lalu-lalang di media sosial ya. Ini yang harus kita sadari dan perhatikan juga waspadai betul," sambungnya.
Baca Juga: IFEX 2024, Hadirkan Harapan Positif Bagi Pertumbuhan Ekonomi
Sementara, Petrus Eko N, dari Koalisi Masyarakat Yogyakarta yang menyelenggarakan seminar gotong royong melawan hoax, menambahkan pihaknya akan terus aktif mengajak masyarakat bergotong royong untuk bersama mengedukasi ke keluarga terdekat dan masyarakat agar lebih bijak ketika menerima informasi maupun berita dari media social misal : Group Whatsapp, Tiktok, Facebook atau media sosial lainnya. Jangan dibagikan atau di-share ke orang lain apabila tidak yakin atas informasi maupun berita itu benar atau salah.
"Meski sudah yakin bahwa itu benar, tetapi rasanya tidak ada kaitannya atau tidak ada manfaatnya bagi orang yang akan menerimanya, maka sebaiknya tidak perlu di-share. Peganglah prinsip, lebih baik tidak memberi, dari pada memberi tetapi menimbulkan masalah baru. Atau lebih baik menunda memberi, daripada tergesa-gesa memberi, namun akhirnya si penerima merasa tidak suka," pungkasnya. (Fxh)