KRjogja.com - YOGYA - Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Jogja Memanggil menduduki kantor DPRD DIY, Kamis (20/3/2025). Mahasiswa menolak pengesahan Revisi Undang-undang (UU) TNI yang baru saja dilakukan DPR RI yang dipimpin Ketua DPR RI, Puan Maharani.
Mahasiswa membawa spanduk dan sempat membakar traffic cone rubber atau kerucut lalulintas. Mereka juga mencorat-coret Patung Jendral Sudirman dengan beberapa kata, juga menempeli dengan pamflet berbagai aspirasi.
Mereka juga melakukab mimbar bebas, menyanyi lagu-lagu perjuangan untuk menolak pengesahan tersebut. Ada juga aksi teatrikal yang menggambarkan TNI merepresi rakyat.
Baca Juga: BEK Rehabilitasi DAS Menoreh, Tanam 109 Ribu Pohon Produktif Sejahterakan Petani
Koordinator aksi, Bung Koes dalam pernyataan sikapnya menyatakan disahkan revisi UU TNI menandakan demokrasi masyarakat sipil terancam. UU tersebut mengijinkan tentara mengisi jabatan-jabatan publik di luar sektor pertahanan.
"Dengan watak tentara yang bersifat hierarkis dan bergerak berdasarkan sistem komando, pengelolaan pemerintahan Indonesia berpotensi mengarah pada otoritarianisme. Ini akan membungkam usulan-usulan lain di luar perintah yang sudah ditetapkan, termasuk jika itu merugikan kebebasan berdemokrasi di Indonesia," ungkapnya.
Bung Koes mewakili massa aksi menyebutkan, respon atas revisi UU TNI tidak hanya datang dari masyarakat sipil, namun juga pasar saham. Pada 18 Maret 2025 kemarin, pasar saham Indonesia anjlok dan Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksa menekan tombol circuit breaker, bahkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berdampak pada pelemahan nilai tukar Rupiah.
Baca Juga: Gandeng Sektor Swasta Dukung Digitalisasi Pembelajaran di Indonesia
"Efisiensi anggaran yang seharusnya dialokasikan pada kebutuhan publik, seperti ketahanan pangan, fasilitas publik dan kesejahteraan sosial, Danantara kurang mendapat atensi. Pemutusan regulasi yang hampir tidak ada transparansi ini justru mengakomodasi cita-cita politik tertentu yang akhirnya mengukuhkan kontrol militer atas ruang sipil dan menjauhkan prinsip demokrasi dalam pengelolaan pemerintahan," tandasnya.
Sementara keputusan revisi UU TNI disebut tidak lepas dari warisan ABRI/TNI. Dalam konteks sejarah, Presiden Soeharto yang militeristik kerap menggunakan jalur kekerasan dan pembungkaman kepada gerakan pro demokrasi.
"Tidak sedikit pembunuhan yang dilakukan oleh militer, mulai dari kasus Tanjung Priok hingga Santa Cruz. Selain krisis ekonomi, buruknya supremasi sipil pada masa itu memunculkan reformasi tahun 1998," ungkapnya.
Melalui rekam jejak dan jaringan keluarganya, Prabowo Subianto merupakan tokoh utama dari upaya memperkuat militer di banyak lini Pemerintahan Indonesia. RUU TNI yang dibahas secara diam-diam di hotel mewah Jakarta pun disebut tidak memiliki naskah akademik yang komprehensif, tidak menjadi Prolegnas DPR 2025, tidak ada dalam RPJMN 2025-2029, hingga tidak adanya partisipasi publik.
Baca Juga: Pelayanan BPJS Kesehatan Selama Masa Lebaran, Pemudik Tetap Bisa Periksa Tanpa Rujukan
"Ini membuktikan perumusan RUU ini cacat prosedural. RUU ini prematur, serampangan, dan sarat konflik kepentingan di angkatan bersenjata, maka layak untuk digagalkan. Karenanya kami menuntut gagalkan revisi UU TNI," tandasnya.