yogyakarta

Dibentuk Tiga Sistem Gunung Api Utama, DIY Simpan Rekam Jejak Vulkanik Sangat Panjang dan Kompleks

Kamis, 24 April 2025 | 08:50 WIB
Prof Dr Ir Sri Mulyaningsih ST MT IPM pada pengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Vulkanologi Universitas AKPRIND Indonesia. (istimewa)


Krjogja.com - YOGYA - Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), meski hanya mencakup 0,17 persen luas wilayah Indonesia, namun menyimpan rekam jejak vulkanik yang sangat panjang dan kompleks. Kawasan ini dibentuk oleh tiga sistem gunung api utama, yaitu Pegunungan Kulonprogo yang berumur Oligosen-Miosen, Pegunungan Selatan berumur Miosen Awal, dan Gunung Merapi yang muncul sejak 0,5 juta tahun lalu dan masih aktif hingga kini.

"Dalam dinamika superimposed volcanism, kita menjumpai jejak sulfidasi dan alterasi mineral hampir di dua pertiga wilayah DIY. Meski dianggap tidak ekonomis secara jumlah, jejak geologi ini kini dimaknai sebagai warisan geologi, yang harus dilestarikan dan dimanfaatkan sebagai destinasi geowisata edukatif. Inilah yang menjadi semangat dalam pembentukan Geopark Gunung Sewu dan Geopark Yogya, sebagai upaya untuk tidak hanya melindungi warisan geologi, tetapi juga memberdayakan masyarakat melalui pariwisata edukatif dan konservatif yang berkelanjutan," ujar Prof Dr Ir Sri Mulyaningsih ST MT IPM.

Prof Sri Mulyaningsih menyampaikan hal itu dalam orasi ilmiah berjudul 'Gunung Api Mendukung Hajat Hidup Manusia dari Masa ke Masa' saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Vulkanologi di Auditorium Universitas AKPRIND Indonesia, Jalan Kalisahak, Balapan, Yogyakarta, Rabu (23/4/2025).

Baca Juga: Gerakan Tanam Padi Serentak 14 Provinsi, Dukung Ketahanan Pangan Nasional

Prof Sri Mulyaningsih merupakan dosen senior Program Studi Teknik Geologi Universitas AKPRIND Indonesia, dengan kiprah panjang dalam riset bidang vulkanologi, mitigasi bencana geologi, dan geologi terapan. Pengukuhan sebagai guru besar ini menjadi tonggak akademik strategis yang menegaskan kapasitas Prodi Teknik Geologi AKPRIND University dalam kontribusinya terhadap ilmu kebumian dan kebencanaan di Indonesia.

Acara pengukuhan dihadiri sivitas akademika, mitra industri, alumni, dan tokoh masyarakat, serta menjadi momentum penting untuk menunjukkan peran nyata kampus dalam mencetak ilmuwan yang berdampak.

"Ini bukan hanya capaian pribadi, tetapi cerminan kontribusi kolektif Prodi Teknik Geologi dalam memperkuat fondasi akademik dan kolaborasi riset kebumian lintas sektor," tandas Ketua Panitia Pengukuhan Ir Radhitya Adzan Hidayah ST MEng.

Baca Juga: Hamzah Sulaiman Pemilik Raminten Tutup Usia

Menurutnya, Universitas AKPRIND Indonesia, melalui peristiwa ini, menegaskan posisinya sebagai kampus teknik yang berkomitmen pada pengembangan ilmu pengetahuan berbasis kebutuhan bangsa dan masa depan lingkungan.

Prof Sri Mulyaningsih menjelaskan, geowisata adalah bentuk 'museum alam terbuka' yang hidup, yang mengajak pelajar dari berbagai usia, dari warga lokal, regional, nasional, hingga internasional, untuk memahami evolusi bumi dan peran gunung api dalam membentuk kehidupan.

"Dengan semangat Hamemayu Samudera dan filosofi Among Tani Dagang Layar, wilayah DIY tidak sekadar membangun fisik, tetapi juga sedang merintis keseimbangan antara pembangunan, pelestarian, dan pendidikan geologi. Semoga upaya ini menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat yang tidak hanya mengenal tanah tempat kita berpijak, tetapi juga memahami nilai sejarah dan sains yang terkandung di dalamnya. Sebab, gunung api bukan hanya alam yang pasif, tetapi adalah mitra yang aktif dalam membentuk budaya, ekonomi, bahkan nilai spiritual kehidupan manusia," paparnya.

"Saya menggeluti vulkanologi, mempelajari stratigrafi dan petrologi batuan gunung api, baik pada gunung api aktif masa kini maupun gunung api purba. Salah satu konsep penting yang saya geluti adalah dinamisasi transien, yaitu proses pengendapan klastika gunung api yang terjadi secara berkelanjutan dan mengikuti bentuk geomorfologi terdalam pada saat erupsi terjadi," ungkap Prof Sri Mulyaningsih.
Konsep ini, lanjutnya, dapat dilihat secara nyata pada Formasi Nglanggeran, dimana stratigrafinya menunjukkan perulangan antara breksi, lava, dan agglomerat dalam pola yang tidak acak, melainkan terkontrol oleh struktur deformasi geologi seperti cuesta atau hogback yang juga menandai proses tektonik aktif pada masa dan pascaaktivitasnya. Konsep ini juga berlaku pada gunung api masa kini, seperti Gunung Merapi, Merbabu, Slamet, Kelud, Dieng, dan Rinjani, hingga gunung api berumur Kuarter seperti Gunung Muria, Patiayam, Lawu, Jatiluhur, Gunung Padang, Sadahurip, dan lainnya, hingga pada batuan yang lebih tua, yaitu Formasi Kebo-Butak, Semilir, Besole, Mandalika, dan Wuni; distribusi material vulkanik tetap mengikuti paleogeomorfologinya secara transien.


Menurutnya, lereng gunung api tidak hanya menjadi pusat pertumbuhan budaya, sistem hidrologi dan geomorfologi yang terbentuk akibat erosi dan pengendapan longsoran gunung api, serta proses erupsi menciptakan sungai influen-intermiten di hulu dan sungai efluen-permanen di lereng tengah hingga kaki gunung. Ini membentuk kantong-kantong akuifer air tanah yang dibatasi oleh lapisan impermeabel abu gunung api dan paleosol, menghasilkan air bersih berkualitas tinggi; penopang utama pertanian dan kehidupan di sekitarnya.


Dijelaskan, material vulkanik tinggi silika, memiliki kemampuan sebagai penyaring alami terhadap logam berat, unsur kimia beracun, dan bakteri; sebuah anugerah geologi yang terus diwariskan kepada manusia.


Prof Sri Mulyaningsih menyatakan, dalam proses geologi, waktu adalah unsur utama. Proses-proses itu tidak terjadi dalam hitungan hari atau tahun, melainkan dalam jutaan tahun, membentuk bentang alam, tanah, dan sumber daya yang kini kita warisi. Namun dari proses yang panjang itu pula muncul dua wajah geologi: wajah positif berupa sumber daya yang menopang kehidupan dan kemakmuran dan wajah negatif, berupa bencana geologi yang menguji kesiapsiagaan dan ketangguhan kita. (San)

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB