Oleh karena itu, muncul gagasan perlindungan menggunakan konsep bangunan knock-down, yaitu struktur sementara yang bisa dibongkar pasang tanpa merusak alam, tapi tetap memfasilitasi edukasi dan wisata ilmiah.
Diskusi di podcast juga menyinggung bagaimana situs ini bisa diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan. DPRD DIY menyampaikan pentingnya memasukkan pelestarian situs geologi ke dalam rencana tata ruang wilayah, serta membuka ruang kolaborasi lintas sektor—pendidikan, pariwisata, mitigasi, hingga pemberdayaan masyarakat lokal.
“Potensi geowisata di lereng Merapi sangat besar. Situs Bakalan bisa menjadi destinasi edukatif yang menggabungkan wisata, ilmu pengetahuan, dan kesadaran bencana,” ujar perwakilan Komisi C DPRD DIY.
Pihak dinas menambahkan bahwa status resmi situs masih dalam proses pengakuan sebagai warisan geologi penting, sementara akademisi menekankan urgensi menjaga singkapan asli ketimbang hanya menyimpan dokumentasi digital.
Lebih dari sekadar lokasi bekas bencana, Situs Aliran Piroklastik Bakalan adalah warisan hidup. Ia merekam sejarah geologi, namun juga membuka ruang masa depan—tempat orang belajar, berpikir, dan mempersiapkan diri menghadapi siklus alam yang tak terelakkan.
Podcast Sapa Infrastruktur kali ini membuka mata bahwa mitigasi tak harus selalu berupa bangunan keras atau alarm digital. Kadang, warisan geologi itu sendiri adalah alarm alami yang paling jujur. Tinggal bagaimana manusia memilih untuk mendengarkan. (*)