yogyakarta

Begini Kata Pakar Tentang Kedaulatan Energi di Momen Satu Tahun Prabowo Gibran

Kamis, 30 Oktober 2025 | 16:10 WIB
Diskusi publik para pakar dan akademisi soroti kedaulatan energi. (Harminanto)

KRjogja.com - YOGYA - Memasuki satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran, sejumlah akademisi dan pengamat menyoroti masih jauhnya capaian Indonesia menuju kedaulatan energi. Dalam dialog bertajuk 1 Tahun Prabowo-Gibran: Sudah Berdaulatkah Kita Dalam Energi? yang digagas Forum Jurnalis Yogyakarta di Legend Coffee, Kamis (30/10/2025), para pakar menilai persoalan impor migas dan ketergantungan terhadap energi fosil masih menjadi tantangan besar.

Guru Besar Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) Fisipol UGM, Prof Wahyudi Kumorotomo, menyebut Indonesia saat ini belum berdaulat dalam energi karena sebagian besar bahan bakar minyak (BBM) yang dikonsumsi masih hasil impor. "Persentase impor BBM seperti Pertamax dan Pertalite semakin besar, ini tentu membebani APBN. Dulu kita produsen, tapi sekarang justru jadi konsumen yang tinggi tingkat konsumsinya," ungkapnya.

Menurut Prof Kumoro, bicara ketahanan energi hanya sebatas memastikan pasokan SPBU aman dan masyarakat tidak antre. Namun kedaulatan energi jauh lebih dalam, termasuk bagaimana negara mampu berkontribusi terhadap pencegahan krisis iklim.

Baca Juga: Telkomsel dan GoPay Kerja Sama Luncurkan eSIM

"Pemerintah perlu langkah konkret, misalnya membangun kilang domestik agar impor bisa ditekan, tidak langsung impor BBM jadi. Energi terbarukan juga masih jauh dari harapan, baik tenaga surya, angin, maupun panas bumi. Ini yang harus dikerjakam betul pemerintah," tegasnya.

Sementara, Drs Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi UGM, menekankan pentingnya membedakan antara ketahanan dan kedaulatan energi. "Keduanya harus available atau tersedia, affordable atau terjangkau serta dan accessible bagi masyarakat. Sekarang impor kita mencapai 1,2 juta barel per hari. Ini membuka peluang besar bagi mafia migas," katanya.

Fahmy menilai, belum dibangunnya kilang baru oleh Pertamina bukan semata karena lemahnya komitmen, melainkan kuatnya intervensi pihak-pihak tertentu. "Ada kemajuan di era Presiden Prabowo dalam memberantas mafia migas, tapi ini harus diteruskan. Mereka inilah yang menghalangi tercapainya kedaulatan energi nasional," ujarnya.

Ia juga mengingatkan, produksi minyak dalam negeri kini hanya sekitar 600 ribu barel per hari. Karena itu, riset dan pengembangan teknologi energi substitusi harus dipercepat.
"Kita punya BRIN, perguruan tinggi, dan peneliti. Sepuluh tahun ke depan harus bisa mandiri menghasilkan substitusi produk BBM. Jokowi dulu bisa capai bauran energi 12,8 persen, tapi pemerintahan Prabowo–Gibran masih 0 persen. Artinya, usaha ada tapi belum signifikan," tambahnya.

Baca Juga: Kemenag: Tidak Ada Perbedaan Kesejahteraan Guru

Dosen STIE YKPN sekaligus Wakil Ketua ISEI Yogyakarta, Dr Rudy Badrudin, juga menyoroti tingginya permintaan energi di tengah suplai yang terbatas. Ia menegaskan, UUD memperbolehkan keterlibatan swasta dalam pengelolaan sumber daya, namun negara tetap harus memiliki kendali kuat.

"Permintaan meningkat, sementara pasokannya dari minyak dan batu bara makin terbatas. Harus mulai digerakkan energi alternatif yang realistis dan bisa diolah dari potensi lokal. Presiden Prabowo harus tegas terhadap menteri-menteri yang tidak serius menjalankan Asta Cita. Pemerintah harus menunjukkan kepemimpinan kuat untuk mengarahkan sektor energi ke arah kemandirian," pungkas Rudy.

Dialog tersebut menjadi refleksi publik di tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran, bahwa mewujudkan kedaulatan energi bukan sekadar wacana politik, tetapi butuh keberanian, strategi jangka panjang, dan konsistensi dalam pelaksanaannya. (Fxh)

 

Tags

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB