Dengan kata lain, program TELADAN tidak hanya menjadi “sekolah kepemimpinan” bagi ratusan mahasiswa, tetapi juga berfungsi sebagai laboratorium kebijakan, model yang diuji di lapangan, lalu dipakai sebagai rujukan dalam perumusan pedoman nasional.
Laboratorium OBE di Ranah Soft Skills
Dari sudut pandang akademik, langkah ini menarik perhatian pakar kurikulum Dr. Isniatun Munawaroh, M.Pd, MCE, dari Departemen Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menilai pendekatan Tanoto Foundation selaras dengan semangat Outcome-Based Education (OBE) yang kini didorong penerapannya di perguruan tinggi.
“Program TELADAN adalah contoh bagaimana soft skills dan kepemimpinan bisa dikelola secara terstruktur dan berjenjang, bukan sekadar pelatihan sekali datang,” ujarnya kepada KR, Jumat (21/11).
Menurut Isniatun, banyak kampus sudah menuliskan capaian pembelajaran lulusan (CPL) di ranah sikap dan keterampilan umum, tetapi belum memiliki peta kurikulum dan asesmen yang benar-benar menindaklanjuti hal itu. Soft skills kerap dipusatkan pada satu dua mata kuliah, alih-alih menjadi benang merah di seluruh pengalaman belajar mahasiswa.
OBE, lanjutnya, menuntut pemetaan yang jelas: di mata kuliah mana mahasiswa mulai diperkenalkan pada kompetensi tertentu, di mana mereka berlatih, dan di mana mereka dituntut menguasai. “Soft skills harus menjadi bagian dari DNA setiap mata kuliah, bukan ditempatkan di satu mata kuliah pelengkap,” kata Isniatun.
Ia melihat desain TELADAN dari fase Lead Self, Lead Others, hingga Professional Preparation mencerminkan alur OBE yang rapi di ranah soft skills. Kompetensi seperti kepemimpinan, komunikasi, dan ketangguhan tidak hanya dikenalkan, tetapi diuji dalam proyek sosial, kerja tim antarkampus, hingga pengalaman magang.
“Ketika kemudian ada upaya menyusun panduan nasional pengembangan soft skills berbasis pengalaman program seperti ini, filantropi tidak lagi berdiri di pinggir, melainkan ikut menjadi mitra dalam merancang standar,” katanya.
Filantropi sebagai Co-Architect
Keterlibatan Tanoto Foundation dalam pemetaan kebutuhan soft skills, pendampingan kurikulum kemahasiswaan, hingga inisiatif merumuskan panduan nasional menunjukkan pergeseran peran filantropi pendidikan di Indonesia, dari pemberi bantuan biaya, menjadi co-architect kebijakan pengembangan SDM.
Model ini tentu bukan tanpa catatan. Tantangan berikutnya ada di kampus: bagaimana panduan dan rekomendasi yang lahir dari kerja sama pemerintah dan filantropi benar-benar “diterjemahkan” menjadi peta kurikulum, strategi pembelajaran, dan asesmen otentik di ruang kuliah.
Namun, di tengah tekanan angka penganggur terdidik dan tuntutan daya saing global, kehadiran aktor non negara yang bersedia berinvestasi pada desain jangka panjang bukan sekadar program jangka pendek—menjadi pelengkap penting dalam ekosistem pendidikan tinggi.
Jika upaya ini berlanjut, program seperti TELADAN bukan hanya akan dikenang sebagai beasiswa bergengsi, tetapi juga sebagai salah satu titik awal lahirnya standar baru pengembangan soft skills di perguruan tinggi Indonesia. (Git)