Kebaya kemudian berkembang seperti sekarang. Ada kebaya kutu baru, Kartini, dan encim yang banyak digunakan oleh perempuan peranakan Tionghoa. Pada zaman penjajahan perempuan Belanda memakai kebaya yang disebut dengan kebaya noni.
Putri mengatakan, dulu kebaya menjadi pakaian sehari-hari, misalnya model lilit panjang, atau lilit setengah betis untuk pergi ke pasar dan ke sawah. Namun sekarang kebaya hanya dipakai pada acara khusus.
"Padahal memakai kebaya tidak harus ribet. Jaman dulu ada kebaya santai yang dipakai sehari-hari. Sekarang banyak perancang busana yang dapat menyesuaikan dengan selera dan kebutuhan masa kini. Pada dasarnya budaya kita perlu dilestarikan agar tidak punah," ujar dia.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, pihaknya telah memasyarakatkan kebaya sebagai pakaian pegawai wanita setiap hari kamis, bersama dengan penggunaan Bahasa Jawa. "Memakai kebaya mampu menunjukkan tampilan yang indah menurut saya," ujar dia.
Sekjen Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (LPER) FranciscaSestri, produksi kebaya bisa memberikan kontribusi terhadap perekonomian, apalagi pakaian ini perlu didukung dengan aksesoris lain seperti selop, bros, gelang, dan sejenisnya.
"Kontribusi kebaya sebagai pemberdayaan ekonomi nasional perlu kolaborasi dari semua pihak dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, bersama dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain seperti perbankan," ujar dia.
Desainer kebaya Lenny Agustin menambahkan, persesi kebaya sebagai baju adat yang mengesankan kekunoan (old fashion) perlu diubah, terutama jika ingin mengenalkannya kepada generasi milenial. "Jangan mempersepsikan kebaya sebagai pakaian tradisional. Jangan bicara tentang pakem kebaya dulu," tegasnya.(ati)