bisnis

Prospek Industri Farmasi Ditengah Penguatan Nilai Tukar

Selasa, 7 Mei 2019 | 09:55 WIB
Istimewa

JAKARTA, KRJOGJA.com - Dalam dua tahun terakhir industri farmasi mengalami tekanan yang cukup berat, setelah gejolak perekonomian global yang berdampak pada pelemahan nilai tukar, sehingga menyebabkan beban industri farmasi meningkat, ditambah lagi dengan persoalan defisit yang dialami oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang membuat pembayaran klaim obat kepada industri farmasi sering mengalami keterlambatan. 

Namun sebelum menutup 2018, sentiment positif mulai menghampiri industri obat-obatan ini, seiring dengan penguatan nilai tukar yang masih berlangsung hingga saat ini. Pasalnya, hampir 90% bahan baku untuk pembuatan obat-obatan di dalam negeri, masih mengandalkan impor, sehingga ketika nilai tukar menguat, setidaknya beban biaya untuk membeli bahan baku sedikit berkurang. Tapi, tidak serta merta produsen obat-obatan di dalam negeri bisa bernapas lega karena, industri ini masih dipengaruhi oleh harga minyak dunia. 

Bila kedepan harga minyak dunia memperlihatkan trend meningkat, lagi-lagi beban biaya akan naik. Jadi, penguatan nilai tukar, tidak akan signifikan mengurangi beban biaya perusahaan, bila harga minyak dunia merangkak naik.

Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi memperkirakan, penguatan nilai tukar hanya akan mampu menutupi beban biaya akibat kenaikan harga minyak dunia. Namun bila harga minyak tidak mengalami kenaikan, penguatan nilai tukar rupiah akan sangat membantu produsen ibat-obatan membukukan kinerja positif sepanjang 2019

Faktor lainnya yang sebenarnya sangat ditunggu-tunggu oleh industri farmasi adalah kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan pembengkakan defisit yang dialami BPJS kesehatan, karena hal ini akan sangat mempengaruhi rantai pasokan dan alat kesehatan bagi pengguna BPJS, yang menjadi pembeli terbesar obat-obatan di dalam negeri.

Saat ini ada beberapa jalan keluar yang ditengah dikaji oleh pemerintah diantaranya memberlakukan urun biaya yakni tambahan biaya bagi peserta untuk rawat jalan dan rawat inap, sehingga tidak semua biaya ditanggung oleh pemerintah dalam hal ini BPJS. 

Jalan keluar lainnya yang juga sedang dikaji adalah rencana menaikkan iuran BPJS kesehatan, yang langsung mendapat kritik dari masyarakat karena dinilai mengurangi kemampuan masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan yang memadai.

Pemerintah juga pernah mengungkapkan akan melakukan evaluasi terhadap dana bagi hasil cukai tembakau untuk meningkatkan layanan kesehatan masyarakat termasuk diantaranya menutup defisit BPJS.

Halaman:

Tags

Terkini

Bisakah Short Trade Crypto di Indonesia?

Kamis, 11 Desember 2025 | 08:23 WIB

DEN kaji Pajak Karbon Masih Dikaji

Selasa, 9 Desember 2025 | 12:15 WIB

Smailing Tour Bergabung Sebagai Anggota Virtuoso

Senin, 8 Desember 2025 | 19:47 WIB